Sungailiat, 03 Agustus 2015
Terbungkus Rindu
Aku tidak akan pernah lupa, waktu aku terjebak pada dua pilihan yang akan membawaku kemana nantinya akan berlabuh. Dan sekarang, aku di sini. Di sebuah tempat yang jauh darimu. Entah harus kusesali atau tetap menerima pilihanku ini. Belum jauh rasanya aku meninggalkan jejak itu. Saat ini aku merasa kembali terlempar ke masa lalu, bernostalgia bersama semua kenangan yang telah berlalu.
Terkadang, dengan mudah aku dapat melupakan dirimu. Namun bukan tidak pernah bayanganmu datang kembali, kemudian meracuni segala yang ada pada pikiranku. Aku membenci keadaan ini. Keadaan yang membuatku menyesali pilihanku sebelumnya. Apapun kebiasaan yang aku lakukan selalu membawa ingatanku kembali tertuju padamu. Hanya kamu. Sekarang, apa yang bisa kulakukan? Apa aku bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala? Jarak kita tidak dekat, namun pikiran kita tetap melekatt. Benar bukan? Ya, itu dulu.
Apa kamu masih mengingat kejadian-kejadian itu? Um, bisa jadi tidak. Ketika itu.
Cerita kita dibungkus rapi oleh waktu. Terbungkus berarti tidak hilang. Terbungkus rapi karena kita menjalani kehidupan bersama, kita menikmati setiap detik pada pertemuan. Pertemuan kita hanya enam hari dalam satu minggu. Begitu sulit rasanya menuliskan cerita tentang bahagianya aku yang pernah melewati hari bersamamu.
Ingat kah?
Hari pertama masuk sekolah. Kita belum saling mengenal, belum saling peduli. Waktu memulai semuanya. Aku duduk tepat dibarisan nomor dua dari belakang. Dan kau duduk tepat di belakangku. Kemudian keakraban mulai terasa. Saling bercerita, tertawa, mengeluh, mengejek teman kelas. Terima kasih untuk waktu-waktu di hari itu.
Masih ingat dengan pasangan **** dan ***** yang duduk tepat di sebelah kananmu? :)
Karena insiden mereka, aku yang harus dipindahkan oleh guru Agama untuk duduk bersama **** agar pasangan itu tidak sibuk sendiri saat pelajaran. Kemudian skenarionya jadi berubah. Seiring waktu, aku juga berteman akrab dengan ****. Dan kamu menjauh. Jam-jam pelajaran yang dulu dilewati bercanda denganmu, justru berganti dengan ****.
Aku tidak pernah lupa dengan sindiran halus yang kamu sampaikan saat kita berbincang singkat. Aku juga tidak pernha lupa dengan hari itu, saat pelajaran telah usai dan kelas kita mendapat giliran salat zuhur berjamaah. Ketika sedang membereskan alat tulisku, kamu memberikan secarik kertas kecil padaku, kemudian kamu pergi begitu saja.
Salam rindu buatmu di sana
walaupun kau jauh di mata
Ya, itu dari lirik lagu.
Degub jantungku bekerja lebih cepat setelah membaca isi secarik kertas itu. Saat berpapasan di musala pun kita hanya saling memandang. Sejak saat itu, kertas itu kusimpan. Namun sekarang surat itu memang telah hilang bersama kamu yang juga menghilang ditelan oleh waktu.
Untuk kamu, sahabatku,
EP.
____________________________________________________________________
Um 😌
Tadi aku sengaja membongkar buku-buku SMA untuk mencari buku paket Biologi yang dibutuhkan temanku. Kemudian iseng membuka binder corat-coretku ketika SMA, kemudian ketemulah surat itu. Yap. Surat itu ditulis olehku di tahun 2015, untuk sahabatku saat SMP. Sedikit ingatanku, saat menulis surat itu sepertinya aku memang sedang sedih dan merasa kosong. Aku menyadari, bahwa aku bukan penjaga hubungan yang baik. Setelah lulus SMP pun aku tidak menjaga komunikasi dengan teman-temanku. Padahal teknologi sudah cukup canggih dan saat SMP tentu kami sudah aktif di media sosial.
Aku merasa kosong karena ketika itu belum berhasil menemukan sosok teman yang sama persis dengan teman-teman dekatku ketika SMP. Entahlah, di tempat baru itu semuanya terasa berbeda. Menurut pandanganku, semua orang seperti mengenakan topeng.
Jangan bilang suratku lebay ya, hahaha. Aku tau, penulisannya pun tidak teratur. Ya, maklum lah saat itu maish, ya, gitu deh (padahal sekrang juga kalau nulis masih sering ngga beraturan 🙈). Aku cuma mau mengenang dan mengabadikan. Agar tidak hilang, makanya kutulis di sini.
By the way, setelah kejadian secarik surat itu, kami malah jadi canggung satu sama lain. Setelah rasa canggung itu membuat pertemanan kami jadi semakin renggang, asumsiku saat itu jangan-jangan karena kami saling punya perasaan yang lebih, tapi sama-sama pura-pura bego, naif. Sebenernya jijik bilang gini. Kesannya aku yang terlalu percaya diri ya, HAHAHAHA 😆 Tapi gimana, emang dulu gitu. Kita memperlakukan satu sama lain itu beda dengan cara kita memperlakukan temen-temen kelas yang lain.
Nah, udah ngerasa betapa ngga enaknya kehilangan sahabat, setelah itu aku jadi selalu ngingetin ke diri sendiri, jangan sampai kejadian yang sama terulang lagi. Alhasil, ketika kenaikan kelas dan bertemu dengan teman-teman kelas yang baru, aku jadi berusaha untuk bersikap biasa aja ke temen-temen deket yang lawan jenis.Trauma rasanya kehilangan sahabat cuma karena cinta-cinta monyet yang nggak jelas.
Terus, aku ngga pernah naksir orang dong selama sekolah?
Oh, tentu pernah dong 😁
Tapi aku pinter-pinter bego, suka sama orang tuh jarang, tapi kalau udah suka, hilangnya lama. Dulu dua tahun sekelas sama crush, dan senengnya karena kami punya hubungan yang cukup baiklah sebagai temen (sering adu nilai pas ulangan. Kalau bimbel kadang duduk berdua. Pokoknya bikin belajarku jadi semangat. WKWK, Lha kok malah kebablasan 😅) Tapi semuanya disimpan rapat-rapat, jadi sampai lulus orangnya ngga tau. Bahkan sampai aku udah lulus SMA, aku belum ngelupain si crush. Sampai sekarang kadang masih suka nanyain dia ke temen-temen lama.
Udah deh, sekian. Terima kasih untuk yang sudah membaca tulisan yang ngga ada faedahnya ini, isinya cuma curhatan masa SMP, HAHA.
0 Comments:
Posting Komentar