30 Maret 2021

Jumpa Ida Bagus Ketut Lasem di Pulau Panjang


Pulau Panjang (20/03/2020), sekitar pukul 18.30 WIB untuk pertama kalinya kami menginjakkan kaki di Pulau Panjang. Setelah unggah-ungguh, kami memutuskan untuk pisah dari rombongan Mas Miftah, pemilik perahu yang memberikan kami tumpangan. Agar tidak merepotkan rombongan.

Belum lepas senyum sumringah dari wajah. Salah satu emosi senang akan sebuah perjalanan yang tak terencana. Dari arah warung, seorang laki-laki datang menghampiri. Setibanya beliau di bawah cahaya redup yang tergantung di pohon pinus, barulah kami tau bahwa usianya sudah cukup tua.

Berawal dari perbincangan singkat, akhirnya kami pindah duduk di warung. Kemudian baru kami tau bahwa yang sedang berbincang dengan kami adalah Ida Bagus Ketut Lasem. Dari warung kecil itu lantunan radio tua dengan lagu lawas setia menemani bapak penjaga warung berusia paruh baya. Teriakkan kinjeng tangis dari hutan pun terdengar padu dengan debur ombak yang tenang.

Ida Bagus Ketut Lasem merupakan seorang seniman yang berasal dari Bali, tepatnya daerah Gianyar. Lima tahun beliau habiskan untuk menempuh pendidikan seni di Belanda. Meskipun orang tuanya menginginkan untuk sekolah hukum. Beliau juga salah satu orang yang membuat trofi Piala Presiden.

Sebagaimana yang kita tau, Bali masih sangat kental dengan sistem kasta. Kasta tertinggi di Bali adalah Brahmana yang terdiri dari Ida Bagus, Anak Agung, dan Tjokorda. Selanjutnya diikuti Kesatria, Waisya, dan Sudra.

Laki-laki kelahiran 1931—berusia 89 tahun, ini merupakan anak dari Ida Bagus Mantra, mantan gubernur Bali periode 1978—1988. Berdasarkan penuturannya, beliau juga merupakan keturunan Prabu Udayana ke-17.

Beliau sudah berjalan selama delapan tahun. Persinggahan terakhirnya Kota Jepara. Kedatangannya ke Pulau Panjang adalah untuk Ta'ziah ke makam Habib Syeikh Abu Bakar. Hal ini dilakukan atas perintah Habib Luthfi.

Beliau menikah di usia 45 tahun dan istrinya berusia 23 tahun. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Istri beliau yang kini berusia 55 tahun, menjabat jadi kepala sekolah di salah satu SMA favorit di Bali, SMA 1 Bali.  

Oh, iya. Salah satu budaya di Bali, ternyata anak bungsu laki-laki jodohnya harus dicarikan oleh orang tua.

Kami juga bertanya tentang salah satu budaya yang menjadi ciri khas Bali, Nyepi. Kata beliau, orang Hindu di Bali Nyepi selama satu hari satu malam. Tanpa listrik, maupun api. Segala persiapan seperti makanan dan lainnya, tentu sudah disiapkan satu hari sebelumnya. Jika ketahuan melanggar, bisa dikenakan denda sebesar 50 juta.

Pertanyaan kami, “Lalu bagaimana dengan turis dan orang yang beragama non-Hindu?”

Mereka yang mengikuti, kata beliau. Orang Eropa kebanyakan justru merasa senang. Merasakan nikmatnya Nyepi di Bali. Merasakan hening kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi.

"Damai adalah indah. Paling indah adalah damai" ucap Beliau.

Nilai toleransi di Bali sangat baik. Semuanya saling menjaga nama baik. Ketika Nyepi, orang Islam yang menjaga. Begitu pula sebaliknya. Ketika bulan Ramadan, orang non-Islam yang menjaga. 

Perbincangan kami juga sampai pada masa muda beliau. Ketika Zaman Penjajahan Jepang, beliau berusia 12 tahun. Peristiwa 1965 yang terekam di memorinya meninggalkan ingatan yang menyakitkan. Pasca 1965, Bali pernah diserang Madura. Oleh Banyuwangi, Bali ingin diislamkan. Lalu tanggapan orang Bali, "Kalau kami diislamkan, menangislah kamu. Tapi bukan air mata putih, air mata darah. Sampai titik penghabisan".

“Semua agama itu baik. Tinggal faktor bagaimana manusia yang menjalankannya” ucap Beliau.

Sebagai kawula muda yang ketika itu sedang merasa kehilangan arah, tentunya saya tidak lupa meminta wejangan kepada Beliau. Tentang apa yang sebaiknya jangan dilakukan di masa muda, agar tidak menyesal ketika sudah tua kelak. Pesan dari beliau untuk kami.

  1. Jaga nama baik diri sendiri. Jangan sampai ternodai. Kalau kamu jatuh, kamu sendiri yang rugi. Jadilah manusia yang mulia.
  2. Taat pada agama. Ikuti jejak yang terbaik. Agama apaun terserah. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan.
  3. Sopanlah kepada sesama, terutama orang tua. Jangan pernah menghina sesama. Kalian mahasiswa, jangan sampai memandang rendah orang lain.

InsyaAllah  hidup tidak akan menyesal.

Yang paling asik dari sebuah perjalanan adalah ketika meminta doa dari orang-orang yang ditemui selama perjalanan.

"Yang penting sampean lulus. Aamiin"

"Sampean bisa ketemu sama saya itu syukur sekali. Besok saja kita foto".

Sayang sekali, esoknya kami malah tidak sempat menemui beliau lagi. Agak oleng karena semalaman tidak bisa tidur. Pertama, karena menghabiskan malam dengan rombongan yang baru berkenalan malam itu juga, kawan-kawan dari Balai Perikanan. Kedua, karena rombongan Mas Andi dan Haydar (sama, baru kenal malam itu juga) nyalain musik guede-guede pas Subuh, yang mana jam segitu kami baru mau tidur. Bagaimanapun, bertemu mereka semua adalah hal menyenangkan, akan kuceritakan nanti.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Boleh diluruskan apabila terdapat informasi yang keliru. Apa yang tertulis di sini semuanya berdasarkan pengalaman dan hasil perbincangan.

24 Maret 2021

Bermalam di Kota Solo


Solo, (20/03/2021)--19 Maret sekitar pukul 23.00 WIB kami tiba di Solo. Satu hal yang membuatku agak keheranan, suasana malam di Kota Solo sungguh ramai. Berbeda dengan Kota Yogyakarta yang pukul 21.00 WIB tempat-tempat nongkrong dan warung makan sudah harus tutup. Melihat keadaan di Solo, seperti dunia ini tidak terjadi apa-apa dan sedang baik-baik saja.

Di Solo, kami bermalam di Istana Griya Hotel. Dengan biaya yang cukup murah. Rp58.000,00/malam. Kamar yang cukup luas untuk kapasitas dua orang dengan kamar mandi di dalam.

Kami tidak menjelajah Solo. Sempat pergi ke Pasar Triwindu, tetapi karena kami datang terlalu pagi, hanya beberapa toko-toko yang buka. Setelah mengelilingi Alun-Alun Solo, kami berhenti sarapan pagi di Warung Wareg Prapatan “Mak Yun”.




Makanan yang di jual di sini adalah masakan rumahan. Masakan Ibunya tidak manis seperti masakan Jawa pada umumnya. Sangat enak. Makan di sini membawa ingatan pada masakan di rumah.

Kukatakan ke Ibu penjual, “Bu, makanannya enak! Rasanya saya seperti makan di rumah”. 

Ibu penjual tersenyum mendengar komentar kami.

Kemudian aku menunduk. Mengamati bulir-bulir nasi yang bercampur dengan kuah santan. Mataku panas. Rasanya seperti Dini berbicara kepada Dini, “Memang sejak kapan makan di rumahmu terasa nikmat?”

Telunjukku segera mengusap air mata yang belum sempat mengalir. Sudahlah.

Setelah makan, lagi-lagi kami baru akan membahas ke mana tujuan kami selanjutnya. Beberapa nama kota sempat kami bincangkan. Pada akhirnya tujuan kami adalah ke Kota Jepara. Dari Solo perjalanan sekiar 5—6 jam, ditempuh dengan motor.

Keputusan yang sangat tepat memilih Jepara. Kota yang menajdi persinggahan terakhir kami ini mempertemukan kami dengan orang-orang baik. Memberi kami peluang untuk memetik pelajaran di perjalanan kali ini. Di Jepara, tepatnya Pulau Panjang, kami bertemu beberapa saudara baru.

#Solo #Traveling #GetLost

Mampir di Umbul Manten, Klaten

Klaten, (19/03/2021)--Perjalanan bermula dari seorang kawan, tidak lain dan tidak bukan, Astri Juniarti. Mengajak untuk bertemu di Klaten tanggal 20 Maret. Lagi dan lagi, masih tanpa renca perjalanan. 

Singkat cerita, perjalanan dimulai satu hari lebih awal dari jadwal. Pagi, 19 Maret, Astri berangkat dari Semarang dan aku dari Yogyakarta. Kami sepakat untuk bertemu di Soto Segeer Mbok Giyem di Klaten. Sekaligus sarapan pagi.

Soto Segeer merupakan salah satu warung yang cukup terkenal. Cabangnya sudah ada di beberapa kota di Pulau Jawa. Soto dagingnya yang khas bisa disantap dengan bermacam jenis camilan dan sate-satean yang disediakan.

Setelah makan, bukannya lanjut menuju tempat-tempat yang ingin dikunjungi, kami justru kembali ke Yogyakarta. Untuk mengantar satu motorku. Kami rasa kurang seru jika harus berjalan sendiri-sendiri dengan dua motor. Memang agak buang-buang waktu karena kami harus bolak-balik. Hikmahnya, kami dapat istirahat sebentar di kamar kosku. Sekitar pukul 14.00 WIB, kami berangkat lagi menuju Klaten.

Setibanya, kami langsung menuju Alun-Alun Klaten. Dengan tujuan mencari kepelan dan dawet bayat yang merupakan makanan khas Klaten. Sayangnya kami tidak bisa mencicipi dawet bayat karena tidak menemukan penjualnya di sekitar Alun-Alun.

(kepelan)


Akibat terbatas waktu dan hari semakin sore, kami memutuskan untuk langsung menuju Umbul Kemanten atau Umbul Manten. Waktu tempuh sekitar 30—40 menit dari Alun-Alun Klaten.

Dari sekian banyak wisata “Umbul” yang terkenal di Klaten, kami memilih Umbul Manten karena suasana dan tempatnya masih terbilang alami. Belum banyak sentuhan tangan dan perubahan.

Untuk masuk ke Umbul Manten, hanya perlu mengeluarkan biaya untuk parkir motor sebesar Rp3.000,00 dan retribusi masuk Rp10.000,00/orang.

Berikut sejarah mengapa tempat ini disebut Umbul Manten:


Air di Umbul Manten sangat segar dan jernih karena langsung berasal dari mata air. Ada beberapa pilihan kolam. Tersedia juga kolam yang tidak dalam jika teman-teman belum bisa berenang. Di sini juga kami merasakan terapi ikan. Tidak dipungut biaya lagi karena terapi ikan berada di sebelah kolam utama.

Tempat bilas di sini juga cukup memadai. Banyak juga warung yang menyediakan beragam makanan dan menjual beberapa keperluan untuk berenang.



Sekitar pukul 18.40 WIB, kami selesai mandi dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Motor kami sudah mengarah ke Kota Solo. Namun, di tengah perjalanan kami baru teringat ada satu tempat yang belum kami datangi di Klaten, Angkringan Korea.

Tanpa berpikir, kami langsung memutar balik laju motor. Kembali ke Klaten. Karena jarak yang sudah cukup jauh dan beberapa insiden di jalan, kami tiba di Angkringan Korea sekitar pukul 21.00 WIB.

Tujuan kami ke sini hanya satu, ingin mencoba minuman Bukan S*ju yang satu botolnya dihargai Rp45.000,00. Setelah mendapat apa yang kami cari, kami duduk sebentar di Angkringan Korea untuk membahas di mana persinggahan kami malam ini. Mas penjaga di Angkringan Korea juga ramah. Mungkin untuk teman-teman yang penasaran—apalagi pecinta K-POP, boleh lah merasakan berkunjung ke angkirngan ini.


Setelah diskusi dan sedikit ngobrol dengan Mas Penjaga, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di Kota Solo. Karena terlalu jauh jika harus langsung ke Semarang. Tubuh kami juga perlu istirahat, perjalanan masih akan berlangsung selama tiga hari kedepan.

Sedikit cerita tentang Solo dan Jepara akan kuceritakan secara terpisah di postingan selanjutnya. Lebih seru, tentu saja.

Terima kasih sudah membaca hingga selesai.

Di manapun kamu berada, semoga sehat dan bahagia selalu. Salam. 

#Travel #GetLost #Klaten