Sumber Gambar: Google
Lihat wajah laki-laki yang selalu datang setiap malam telah larut, ia bebas menginjakkan kakinya dirumah ini kapanpun. Kepalanya botak licin membuatku semakin enggan lebih lama melihat rupanya. Tangannya yang kurus dan hitam terbakar matahari selalu membawa bendera merah. Perempuan setengah baya di rumah ini melayaninya dengan baik, tapi mereka tidak peduli dengan kehadiranku.
Di tengah ruang kamar aku duduk terpaku. Berjam-jam, hingga seringkali aku marah dengan sinar matahari pagi yang perlahan merambat melalui ventilasi, macam sinar dari neraka. Bagaimana tidak, sepanjang malam hingga pagi otak ini bekerja memikirkan nasib mereka. Lalu sinar itu membakar semua lamunanku. Kalau aku tidak memikirkannya, siapa yang peduli? Sekumpulan manusia yang diberi iming-iming atas nama emansipasi. Mereka dikumpulkan, diperlakukan (seolah) dengan baik. Dirayu, dipenuhi segala kebutuhannya, bersamaan dengan aturan-aturan yang penguasa tetapkan. Termakanlah semua.
Saat waktunya tiba, aku lihat, aku lihat! Perempuan yang semulanya cantik, kini jadi tak sempurna. Satu-persatu mereka potong bagian hidungnya, lalu telinga kiri dengan alasan agar mereka tak sering membantah. Dicongkel bola mata kanan agar mereka buta akan realitas, hingga pada wajah yang indah hanya tersisa bibir untuk menyampaikan semua kebohongan. Semua yang berpasang disisakan satu, agar mereka memandang dunia hanya dengan satu persepsi. Tatapan sayu dari sebelah mata yang uratnya menjerit, kosong. Entahlah apa itu masih berfungsi dalam membedakan banyak warna atau malah seperti binatang yang hanya mampu melihat satu warna.
Melihat mereka di balik balutan gamis, di balik kerudung, juga di balik gerai rambut yang indah. Semuanya cacat! Bahkan sebagian wajah bopeng terenggus koreng. Belatung saja najis menggerogotinya. Burung gagak yang tak nafsu melahap raga mereka terbang memutar di atas distrik setan, hanya gemar mencium aroma kebusukan tapi tak sudi mengotori paruhnya dengan daging yang tak suci. Aku rasa tuhan juga tak sudi memasukkan mereka ke neraka paling dalam.
***
Sorot mata Ibu melahap seluruh tubuhku secara utuh ketika aku menyapanya dan mulai mengambil secentong nasi yang pertama. Aku menatap Ibu dengan ekspresi bingung, kemudian Ibu hanya menggeleng yang sama sekali tak memberi kejelasan arti tatapannya. Di meja makan sederhana dengan tiga kursi ini kami terbiasa makan bersama walau hanya makan malam yang menjadi momennya. Terkhusus pagi hari kami hanya berdua, sebab Ayah selalu pergi sebelum cahaya mentari sempat mencakar bumi. Tapi entah kenapa rasanya seperti sudah lama sekali tidak makan malam bersama Ayah, seingatku semua berjalan seperti biasa.
Usai menghabiskan sarapan, duduk di tepi pintu masuk menjadi rutinitasku. Jangan tanya kenapa aku tidak berangkat sekolah, Ibu memberhentikannya ketika aku kelas 2 SD kemudian tak pernah lagi mengizinkan bermain dengan teman-teman di sekitar rumah. Membantunya mengerjakan pekerjaan rumah pun begitu. Tubuhku putih pucat dan rapuh, mungkin akibat tidak banyak gerak dan tidak pernah terkena cahaya matahari. Setiap aku memohon untuk pergi ke luar, Ibu selalu mencegah dan mengatakan bahawa itu bukan duniaku. Tida ada yang istimewa dari orang yang kesepian seperti diriku. Terkadang aku sampai tidak ingat waktu yang kuhabiskan untuk apa saja, akibat hidup yang terkurung dalam kubus yang bernama rumah.
Aku tak paham di zaman apa aku berada. Terkadang melihat Ayah pulang larut malam dengan keadaan tergesa-gesa. Jika sudah seperti ini biasanya esok hari akan ada beberapa orang yang datang kerumah untuk mencari Ayah. Padahal Ayah tidak ada. Meski aku tidak tahu betul siapa yang datang, karena Ibu selalu memintaku untuk tidak keluar kamar tapi sayup-sayup aku mendengar bahwa mereka mencari Ayah. Beberapa kali aku bertanya apa sebenarnya yang terjadi pada Ayah, tapi Ibu marah karena sudah mengingatkan berapa kali bahwa itu bukan urusanku.
Tak jarang pula mereka bertengkar setelah kedatangan orang-orang yang tak di kenal itu. Pernah suatu malam Ibu memanggul tas besar hendak lari meninggalkan rumah. Di balik tubuh yang gemetar ketakutan aku hanya berusaha mendengar pembicaraan mereka.
“Perjuangan untuk rakyat!”, satu-satunya kalimat Ayah yang paling kuingat setiap kali menahan Ibu yang hendak pergi. Perjuangan rakyat apa? Rakyat siapa? Untungnya bagi keluarga ini apa kalau aktifitas Ayah hanya membuat Ibu ingin lari. Aku benar-benar buta terhadap apa yang sedang terjadi.
***
Kembali menekur di tengah ruang kamar, menutup mata dengan kedua telapak tangan. Larut malam begini siapa yang berbisik di telingaku, berteriak, menjerit, menuntut. Peluh sedari tadi membuat bajuku lecap, butirnya sebesar biji jagung mengalir melalui dahi, pelipis, pipi, bermuara di dagu kemudian metes membasahi baju. Kenapa di sini ramai sekali, hiruk pikuk teriakan. Bagaimana kalau mereka menyentuhku. Ibu, di mana Ibuku? Tolong, mereka semua berteriak. Aku tidak ingin mati sekarang, Bu! Bukankah sudah sering kuceritan pada Ibu tentang bagaimana kematian yang kuinginkan. Jangan pernah ada yang mengirim karangan bunga ke rumah, aku hanya ingin raga yang datang dan duduk bersemayam di rumah duka.
“Pengikut PKI”
“Bajingan!”
“Penghianat negara!”
“Kemari kau biar mampus, akan kuteguk semua darahmu sebagai tanda kemenangan!”
Aku mendekap erat tubuh sendiri sehingga tak ada ruang bagi sebutir jarum untuk menyelip. Sum-sum tulang belakangku nyeri dibantai tsunami. Mimpi kau! Mimpi! Hanya mimpi kalau kau temukan ada satupun wajah cantik di sana. Di tengah distrik setan. Tak ada yang sadar! Tak ada yang berani melawan, mereka menganggap ini sebuah kebanggaan. Mereka bilang ini tahap tertinggi dari emansipasi. Nenek moyangmu! Anggota badan hanya kau jadikan bahan eksploitasi.
Kala tersadar, aku coba kabur, berlari sekuat tenaga.
Di tengah distrik setan, terus coba mencari sebuah perkampungan. Jangan kira aku senang bisa lari! Aku lebih takut kalau-kalau aku tertangkap oleh salah satu dari mereka, matilah aku. Tidak dapat ku bayangkan, dihukum oleh mereka, kemaluanku ditusuk dengan sebilah bambu runcing hingga menembus kepala. Lalu mereka potong hidungku, kemudian mencongkel mataku, seperti yang mereka lakukan pada perempuan-perempuan sebelumku.
Linu dalam dadaku sedikit mengurang ketika menemukan sebuah perkampungan. Aku masuk ke salah satu rumah. Seorang ibu sedang menyusui balitanya. Tenang sekali kehidupan orang ini, pikirku. Setelah nampak dengan jelas, ternyata dia temanku ketika SD. Bingung bagaimana menceritakan semuanya, kuputuskan untuk pergi. Toh, belum tentu ia peduli dengan situasi yang sedang terjadi, baginya mungkin lebih baik mengurus anak kesayangan saja. Kalau tidak, ini hanya akan membuat ibu dan balita ini menjadi resah. Tidak ada yang menjamin bahwa pelarianku aman.
Aku harus menyelamatkan semua yang terperangkap di sana. Aku menghampiri segerombolan pemuda kampung, tentu meminta bantuan. Kuceritakan semua hal terkait duduk perkara. Kemudian dengan segala rencana aku kembali ke tempat laknat dalam hutan itu. Menyelinap masuk, berusaha agar tak ada yang sadar dengan keberadaanku.
***
Hanya saat masih kecil kita sering terbangun dari tidur dengan ingatan mimpi yang indah. Bisa jadi mimpi itu datang dari dongeng yang disampaikan Ibu secara rutin setiap malam sebelum kita terlelap. Kalaupun terbangun dengan mimpi buruk, Ibu akan selalu siaga memelukmu yang masih bau masam keringat semalaman, lalu ia akan mengelus punggungmu hingga ketegangan hilang.
Berbeda dengan pagiku, hangat yang menyerap di tubuhku tidak seperti biasanya. Tidak ada keringat berbau masam. Kepulan asap sesak memaksa memasuk melalui ventilasi di atas pintu. Panas, ini bau api. Apalagi yang sedang terjadi. Aku sudah cukup lelah. Harus bagaimana lagi aku membedakan apakah segudang hayalan dan kekhawatiran itu ingin mengajak imajinasiku kembali berkelana atau ini memang nyata. Belum cukupkah pikiranku disiksa dengan semua ini.
Aku memeluk erat guling yang sudah tipis dan bau apek akibat tak pernah dijemur Ibu, wajahku terbenam di baliknya. Sayup-sayup terdengar suara Ayah seiring dengan dadaku yang semakin sesak oleh banyaknya asap yang masuk ke dalam paru-paru.
“Sudah! Tinggalkan saja, anak cacat tidak akan memberi manfaat! Ayo lari sebelum semakin banyak massa yang menegejarku!”.
0 Comments:
Posting Komentar