14 Agustus 2022

Kenapa Bertahan di Hubungan yang Tidak Sehat?


Kenapa tetap bertahan dan melanjutkan hubungan yang sudah jelas menyakitkan dan merugikan? Pertanyaan yang membawa saya untuk membaca buku ini. Dulu saya sering men-judge (parah, jagan ditiru, ya) orang yang terperangkap di hubungan tidak sehat ((kok, bisa?)), biasanya saya baca dari thread di Twitter, juga pengalaman nyata di depan mata. Kemudian, terbesit lah pertanyaan di atas.


Kekerasan dalam hubungan seperti lingkaran setan, membuat korban seakan tidak bisa lepas meski sudah babak belur. Disampaikan oleh Dr. Lenore Walker, kekerasan dalam hubungan terjadi pada tiga fase: (1) ketegangan akibat konflik yang seakan tidak ada penyelesaiannya; (2) terjadinya kekerasan akibat fase sebelumnya; dan (3) kebingungan korban, fase honeymoon ketika pelaku kekerasan bersikap manis dan meminta maaf.


Fase honeymoon terbagi lagi menjadi beberapa fase, yaitu (a) penyesalan pelaku atas kekerasan yang dilakukannya; (b) pelaku berjanji tidak mengulangi kekerasan yang dilakukan dan mencari kambing hitam atas terjadinya peristiwa tersebut; dan (c) kedua pasangan sama-sama menyangkal tindak kekerasan yang telah terjadi. Siklus inilah yang membuat korban sulit melepaskan diri. 


By the way, bentuk kekerasan itu banyak, ya. Bukan hanya fisik saja. Ada bentuk kekerasan verbal, mental, seksual, ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan yang “tak tampak” ini juga tidak kalah bahayanya. 


Ada juga yang namanya sunk cost fallacy effect, kekeliruan berpikir seseorang yang memilih untuk bertahan karena sudah menginvestasikan banyak waktu, sumber daya, uang, bahkan seks [hm, jan lups, intimasi dulu baru seks], dan terlalu malas kelak harus memulai sesuatu yang baru lagi. Padahal, cinta tidak harus digenggam erat jika sudah ada pihak yang terluka.


Catatan: pola kekerasan itu sesuatu yang dikehendaki oleh pelaku, bukan karena gangguan psikologis. 


Pola asuh orang tua juga berpengaruh, menyebabkan seseorang menjadi pelaku atau korban yang terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat. Pengalaman awal anak dengan orang tua berdampak pada kemampuan anak membangun hubungan sebagai orang dewasa. 


Salah satu pemicu tindak kekerasan paling basic, cemburu. Gaes, cemburu itu bukan cinta. Cemburu itu bentuk tidak adanya rasa percaya kepada pasangan. Juga, penyebab rentannya perempuan menjadi korban kekerasan salah satunya adalah pandangan masyarakat tentang perempuan yang ideal adalah yang nurut, di buku ini disebut dengan nice girl syndrome. Padahal, menjadi penurut tanpa adanya proses berpikir secara kritis sama saja menjerumuskan diri menjadi celaka. 


Agar tidak menjadi pelaku dan korban: kenali dirimu sendiri, jaga dirimu. 


Kebahagiaan bukan sesuatu yang diberikan. Temukan kebahagiaanmu sendiri. Memang, perlu ada luka yang harus dibasuh dan diobati dalam proses menemukannya (hlm. 161).

 

Menyadari dan Menerima Sebab-Akibat Luka Masa Kecil

Mengenal dan menyelami diri sendiri adalah proses panjang yang mewah dan melelahkan. Melelahkan ketika harus menggali sebab-akibat dan menjadi mewah ketika proses itu menghasilkan pemikiran dan sudut pandang yang baru. Di satu diskusi yang didominasi oleh perempuan, seseorang pernah berkata, “Jangan berhenti. Ketika kamu sadar dengan situasinya, itu sudah luar biasa sekali. Perubahan tidak datang di waktu yang cepat”.

Dari beberapa buku, buku ini menjadi titik perubahan pikiran saya. Saya kekeh dan keras kepala menyalahkan keadaan dan orang lain. Parahnya, mengharap orang lain untuk berubah agar saya bisa merasa lebih baik dalam menjalani hidup. Padahal, itu jelas kemustahilan, sesuatu yang tidak bisa dikontrol. 


Tenaga sudah habis untuk menyalahkan orang lain dan keadaan. Ternyata, ujung dari perjalanan ini adalah mengakui dan menerima semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa diubah, tapi kita bisa menentukan kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani. Bagaimana menerimanya? Dengan mengetahui pula sebab-sebab kenapa orang lain berlaku demikian. Pengalaman dan perlakuan yang kita terima dari kecil sangat berpengaruh dalam membentuk siapa dan bagaimana diri kita ketika dewasa. 


Oh, ya, tentang “kita bisa menentukan kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani”. Cara mencapainya adalah dengan meraih kemandirian finansial. Tidak untuk membalas dendam, ya (saya tidak lagi berbicara tentang siapa benar siapa salah. Toh, saya juga tolol. Kemampuan komunikasi saya buruk sekali. Kalau tidak malas, saya ingin menuliskan ini di kesempatan lain karena bahasannya berbeda). Tetapi, untuk menjadi manusia yang merdeka. Kalau kata orang-orang yang berani di Quora, tuh, “Pack your bag, and leave!” w a w ~


Berhasil menyadari tidak berarti sudah sampai titik. Tidak ada yang selesai karena manusia terus tumbuh dan berkembang. Seperti cinta, terus bergerak dan bertumbuh, (lho, kok ~).


Ini bukan pembahasan isi bukunya, hanya ingin berbagi perasaan setelah membaca.

Saya tampilkan daftar isi buku ini, barangkali ada hal yang membuatmu penasaran:





Buku ini cocok dibaca kamu yang tidak setuju dengan pola asuh yang kamu terima. Cocok untuk anak, cocok untuk orang tua. Bukan untuk saling menolak dan berperang, tapi untuk sama-sama belajar memahami dan memutus rantai “luka” itu.