Kenapa tetap bertahan dan melanjutkan hubungan yang sudah jelas menyakitkan dan merugikan? Pertanyaan yang membawa saya untuk membaca buku ini. Dulu saya sering men-judge (parah, jagan ditiru, ya) orang yang terperangkap di hubungan tidak sehat ((kok, bisa?)), biasanya saya baca dari thread di Twitter, juga pengalaman nyata di depan mata. Kemudian, terbesit lah pertanyaan di atas.
Kekerasan dalam hubungan seperti lingkaran setan, membuat korban seakan tidak bisa lepas meski sudah babak belur. Disampaikan oleh Dr. Lenore Walker, kekerasan dalam hubungan terjadi pada tiga fase: (1) ketegangan akibat konflik yang seakan tidak ada penyelesaiannya; (2) terjadinya kekerasan akibat fase sebelumnya; dan (3) kebingungan korban, fase honeymoon ketika pelaku kekerasan bersikap manis dan meminta maaf.
Fase honeymoon terbagi lagi menjadi beberapa fase, yaitu (a) penyesalan pelaku atas kekerasan yang dilakukannya; (b) pelaku berjanji tidak mengulangi kekerasan yang dilakukan dan mencari kambing hitam atas terjadinya peristiwa tersebut; dan (c) kedua pasangan sama-sama menyangkal tindak kekerasan yang telah terjadi. Siklus inilah yang membuat korban sulit melepaskan diri.
By the way, bentuk kekerasan itu banyak, ya. Bukan hanya fisik saja. Ada bentuk kekerasan verbal, mental, seksual, ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan yang “tak tampak” ini juga tidak kalah bahayanya.
Ada juga yang namanya sunk cost fallacy effect, kekeliruan berpikir seseorang yang memilih untuk bertahan karena sudah menginvestasikan banyak waktu, sumber daya, uang, bahkan seks [hm, jan lups, intimasi dulu baru seks], dan terlalu malas kelak harus memulai sesuatu yang baru lagi. Padahal, cinta tidak harus digenggam erat jika sudah ada pihak yang terluka.
Catatan: pola kekerasan itu sesuatu yang dikehendaki oleh pelaku, bukan karena gangguan psikologis.
Pola asuh orang tua juga berpengaruh, menyebabkan seseorang menjadi pelaku atau korban yang terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat. Pengalaman awal anak dengan orang tua berdampak pada kemampuan anak membangun hubungan sebagai orang dewasa.
Salah satu pemicu tindak kekerasan paling basic, cemburu. Gaes, cemburu itu bukan cinta. Cemburu itu bentuk tidak adanya rasa percaya kepada pasangan. Juga, penyebab rentannya perempuan menjadi korban kekerasan salah satunya adalah pandangan masyarakat tentang perempuan yang ideal adalah yang nurut, di buku ini disebut dengan nice girl syndrome. Padahal, menjadi penurut tanpa adanya proses berpikir secara kritis sama saja menjerumuskan diri menjadi celaka.
Agar tidak menjadi pelaku dan korban: kenali dirimu sendiri, jaga dirimu.
Kebahagiaan bukan sesuatu yang diberikan. Temukan kebahagiaanmu sendiri. Memang, perlu ada luka yang harus dibasuh dan diobati dalam proses menemukannya (hlm. 161).
0 Comments:
Posting Komentar