19 November 2021

Gungung Kembang dan Babinya yang Membuat Jatuh Cinta


Ini pendakian beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini akan berisi cerita dan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk pendakian Gunung Kembang.  

Pendakian ini dilatarbelakangi oleh alasan yang agak berguna daripada biasanyaDalam rangka menemani saudara seiman dan seperjuangan saya, siapa lagi kalau bukan Astri Juniarti, untuk melakukan riset prapenelitian. Dia perlu mengetahui jenis tumbuhan paku yang tumbuh di sepanjang jalur pendakian Gunung Kembang. Itu tujuannya. Tujuan saya, tentu saja untuk menikmati rasa lelah di jalur pendakian dan menikmati sensasi masak di hutan/gunung. Sampai di puncak, itu urusan lain. Beda kepentingan, namun tetap satu tujuan. 

Saya berangkat dari Yogyakarta menuju Wonosobo siang hari. Kalau tidak salah, sekitar pukul 13:00 WIB. Saudara seiman dan seperjuangan saya tiba lebih dulu di tempat kami janjian untuk bertemu, Rest Area Tambi. Di sana, kami istirahat sebentar, nyambi ngopi cantik sejenak. Kurang dari pukul 17:00 WIB, kami melanjutkan perjalanan karena harus mencari klinik untuk membuat surat sehat yang menjadi salah satu syarat pendakian. Biaya pembuatan surat sehat di klinik atau puskesmas sekitar Rp30.000,00--Rp35.000,00. 

Dari Rest Area Tambi menuju ke Basecamp Blembem tidak bisa dikatakan dekat. Saat azan Isya', kami pun sempat berhenti di warung bakso untuk makan malam. Cuaca di Wonosobo tidak berbeda, tetap dingin seperti biasanya. Kami sengaja datang malam hari karena memang merencanakan untuk bermalam di basecamp dan pendakian akan dilakukan pagi hari. Menginap di basecamp tentu tidak dikenakan biaya. Penjaga basecamp juga ramah dan baik!



Sekadar informasi, kami menyewa beberapa alat pendakian di Wonosobo. Lokasinya tidak begitu dekat  dengan basecamp. Namanya Shelter Outdoor Wonosobo. Berikut kontaknya: +62 858-6992-9922. Barangkali ada yang butuh untuk urusan persewaan perlengkapan pendakian. 

Basecamp Blembem bersih dan luas. Fasilitas WC yang disediakan cukup banyak. Ada beberapa warung makan juga. Salah satu yang mencolok dari basecamp ini adalah peraturannya yang sungguh ketat! Jangan main-main soal sampah, dendanya bikin kejer. Sebelum pendakian, barang bawaandicek satu-persatu untuk menegtahui jumlah sampahnya. Pendaki juga tidak boleh membawa air dengan kemasan plastik. Di sana, disediakan sewaan jeriken air dan free trash bag untuk tempat sampah. Mereka juga memberikan plastik untuk membungkus pakaian ganti kita selama pendakian. Tujuannya tentu untuk menjaga agar bawaan tetap kering. 

Biaya simaksi pendakian Rp50.000,00. Dibandingkan dengan gunung-gunung lain di Wonosobo, memang lebih mahal. Biaya ini sudah termasuk biaya ojek ke gerbang pendakian. Jarak basecamp dan gerbang pendakian cukup jauh. Btw, ojeknya pakai truk. Biasanya berbarengan juga dengan pendaki yang lain. Oh, iya, sewa jerikennya Rp10.000,00. Uangnya bisa dikembalikan Rp8.000,00 atau jerikennya bisa dijadikan hak milik pribadi. 

Kami mulai pendakian sekitar pukul 09:30 WIB dan sampai di puncak menjelang magrib. Durasi yang sangat panjang memang. Pendakian yang amat-sangat santai. Jalur pendakian diawali dengan kebun teh dan memasuki pos Kandang Celeng. Pos Kandang Celeng ini jalurnya agak becek jika dibandingkan dengan jalur pos yang lain. Hutannya juga cukup rimbun. 




Di sepanjang jalur pendakian, kami banyak berhenti untuk melihat jenis-jenis tumbuhan. Kami juga sempat istirahat lama sambil ngopi dan makan cemilan. Sambat kelelahan di sepanjang jalan tentu juga dilakukan. Hal lain yang menyenangkan adalah pembicaraan mendalam yang beberapa kali reflek terucap. Di tengah kelelahan, masih sempat memikirkan hal yang serius. Semacam deep talk yang biasa kami lakukan sebelum tidur (kalau sedang menginap bersama). Bedanya, ini dilakukan secara singkat, sambil kelelahan, di jalur pendakian. 



Setelah mendirikan tenda, satu rombongan tiba. Mereka asli dari Wonosobo, sepertinya sedang open trip karena rombongan mereka banyak sekali. Unggah-ungguh dan berkenalan sebentar, lalu kami masuk ke tenda. Siap untuk masak, perut sudah keroncongan. Kami sama-sama tau, yang terkenal dari Gunung Kembang adalah babinya. Diwanti-wanti juga oleh pihak basecamp untuk tidak membawa makanan yang baunya menyengat, ini dapat mengundang kehadiran si bagas a.k.a babi ganas. Selesai masak, kami menggantungkan semua logistik di pohon dekat tenda. 

Tak lama, rombongan dari Wonosobo memberi tahu bahwa dari tadi si bagas mengelilingi tenda kami. Kami disarankan untuk memindahkan tenda, bergabung saja dengan mereka. Awalnya menolak, karena di sana sangat ramai dan sudah pasti berisik. Suasana sepi dan tenang adalah yang kami cari. Setelah disampaikan bahwa logistik kami sudah raib dimakan babi, barulah ada rasa takut dan keatr-ketir. Untuk pertama kali juga kami melihat babi hutan secara langsung.

Akhirnya, tenda kami dipindahkan dekat mereka. Mereka yang membantu. Di dalam tenda, pun tidak bisa tidur karena takut diseruduk babi! Takut tendanya rusak, hahaha. Tengah malam, kami keluar dan bergabung ngobrol dengan mereka. Sambil ngopi tentu saja, untuk menghangatkan badan. Dibuatkan tempe mendoan juga. Lepas tengah malam, kami numpang tidur di tenda mereka. Salah satu teman mereka tidur di tenda kami. 

Begitulah, kita seringkali menolak niat baik orang lain dengan dalih apa yang kita pikirkan jauh lebih baik. Betapa angkuhnya saya sebagai manusia. Tidak bisa membayangkan jika malam itu tidak ada bantuan dari mereka. Terima kasih banyak! Tidak bisa kusebutkan satu-persatu, jumlah kalian banyak. Pokoknya, terima kasih!





Malam itu rasanya saya mau mati dan kapok naik gunung, dingin! Tapi, kapoknya hanya saat itu. Paginya sudah sombong normal kembali. Astri Juniarti adalah orang yang paling tau betapa lemah selemah-lemahnya saya soal dingin. Susah!

Kalau ada informasi yang ingin ditanyakan terkait Gunung Kembang, mari berinteraksi lewat kolom komentar atau bisa main ke media sosial saya: @dini__fr.


Wonosobo, 3 Juli 2021