14 Desember 2021

Seni Mencintai - Erich Fromm


Hajat saya membaca buku ini adalah untuk mencari dan memahami apa itu cinta. Belum puas memahami relasi love-relationship-seks. Meski tak acuh, kadang pernah terpikir, sepertinya hidup ini butuh teman. Sebelum sampai kesana, saya harus paham tetek bengeknya.

Paradoks dalam cinta: dua insan menjadi satu, tetapi tetap dua.
Cinta yang dewasa adalah penyatuan dan menjaga keutuhan diri, individualitas diri. Cinta menghilangkan rasa asing dan terpisah antara manusia dengan sesamanya. Namun, tetap membiarkan kita menjadi diri sendiri, mempertahankan keutuhan diri. Cinta berarti peduli bahwa insan harus tumbuh dan berkembang sebagai pribadinya sendiri. Noted.

Jika cinta berusaha untuk mengubah, memaksakan menjadi sesuatu yang jelas bukan dirimu, is it still called love?
Lebih universal, jika cinta hanya diberikan untuk satu orang, lalu menjadikannya tidak peduli dengan orang lain, maka itu bukalah cinta. Hanya keterikatan simbiotik, atau egotisme meluas.
"Cinta adalah tindakan. Jika aku mencintai, aku berada dalam keadaan peduli secara aktif kepada orang yang kucintai, tetapi bukan hanya kepadanya".

Teringat penggalan lirik milik grup musik indie kecintaan saya, "Bagilah cinta yang banyak, maka benar kau manusia kuat".

Catatan penting:
Jangan memulai cinta yang berawal dari ketertarikan secara seksual (2018:79). Intimasi dulu, baru seks! Tindakan seksual tanpa cinta tidak akan pernah menjembatani jarak antara dua manusia, kecuali sementara saja.

Temuan di buku ini yang membuat saya kembali berpikir: cinta keibuan.
Cinta keibuan adalah cinta tanpa syarat. Ujian terbesarnya menanggung perpisahan—bahkan tetap mencintai setelah perpisahan itu.

Dalam cinta erotis, dua orang terpisah menjadi satu. Sementara, cinta keibuan, dua orang bersatu lalu memisah. Dalam konteks anak yang berada dalam kandungan sampai ia tumbuh dan keluar dari rahim ibu, dari dada ibu; hingga akhirnya menjadi manusia mandiri sepenuhnya.

Saya membayangkan betapa sulitnya mencintai dalam keadaan keterpisahan—setelah anak berkembang dan mandiri. Cinta ibu dan anak adalah bentuk cinta yang tidak setara, salah satu pembeda antara cinta keibuan dengan cinta yang lainnya, mungkin.

Beberapa kutipan dari buku:

Cinta kekanak-kanakan menganut prinsip, "Aku mencintaimu karena aku dicintai"
Cinta yang dewasa menganut prinsip, "Aku dicintai karena aku mencintai"
Cinta tidak dewasa berkata, "Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu"
Cinta yang dewasa berkata, "Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu"
-
Cinta bukan tempat beristirahat. Cinta bergerak, bertumbuh, dan bekerja bersama. Cinta membawa kita menyatu dengan pasangan dengan jalan menyatu dengan diri sendiri, bukan lari dari diri sendiri. 
-
Cinta keibuan adalah cinta tanpa syarat
Ibu mencintai bayi yang baru lahir karena dia adalah anaknya, bukan karena anak itu memenuhi syarat-syarat apapun, atau memenuhi harapan-harapan tertentu.
-
Cinta kebapakan adalah cinta bersyarat
Dalam kodrat cinta kebapakan, kepatuhan adalah kebijakan utama, sedangkan ketidakpatuhan merupakan dosa utama. Prinsipnya, "Aku mencintaimu karena kau memenuhi harapanku, kau melaksanakan kewajibanmu, karena kau mirip aku".
-
Jenis gangguan neuritik dalam cinta, diakibatkan oleh situasi orang tua yang berbeda. Seperti tidak mencintai satu sama lain, tapi menahan untuk tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan. Keterasingan ini menyebabkan hilangnya spontanitas dalam hubungannya dengan anak.

Yang dirasakan gadis kecil adalah atmosfir "kesempurnaan", tapi atmosfir yang tidak pernah mengizinkan kontak akrab dengan ayah maupun ibu. Hal ini menjadikan anak perempuan bingung dan takut. Dia tidak yakin dengan yang orang tuanya rasakan. Selalu ada unsur tak terpahami dan misterius. Akibatnya, anak perempuan menarik diri dalam dunianya sendiri, melamun, asing, dan tetap bersikap seperti itu dalam hubungan cintanya saat dewasa. 


Tulisan ini pernah diunggah di: https://www.instagram.com/p/CXYAiVThG03hZC1K6McQruiUs_DwviEVixOczM0/

19 November 2021

Gungung Kembang dan Babinya yang Membuat Jatuh Cinta


Ini pendakian beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini akan berisi cerita dan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk pendakian Gunung Kembang.  

Pendakian ini dilatarbelakangi oleh alasan yang agak berguna daripada biasanyaDalam rangka menemani saudara seiman dan seperjuangan saya, siapa lagi kalau bukan Astri Juniarti, untuk melakukan riset prapenelitian. Dia perlu mengetahui jenis tumbuhan paku yang tumbuh di sepanjang jalur pendakian Gunung Kembang. Itu tujuannya. Tujuan saya, tentu saja untuk menikmati rasa lelah di jalur pendakian dan menikmati sensasi masak di hutan/gunung. Sampai di puncak, itu urusan lain. Beda kepentingan, namun tetap satu tujuan. 

Saya berangkat dari Yogyakarta menuju Wonosobo siang hari. Kalau tidak salah, sekitar pukul 13:00 WIB. Saudara seiman dan seperjuangan saya tiba lebih dulu di tempat kami janjian untuk bertemu, Rest Area Tambi. Di sana, kami istirahat sebentar, nyambi ngopi cantik sejenak. Kurang dari pukul 17:00 WIB, kami melanjutkan perjalanan karena harus mencari klinik untuk membuat surat sehat yang menjadi salah satu syarat pendakian. Biaya pembuatan surat sehat di klinik atau puskesmas sekitar Rp30.000,00--Rp35.000,00. 

Dari Rest Area Tambi menuju ke Basecamp Blembem tidak bisa dikatakan dekat. Saat azan Isya', kami pun sempat berhenti di warung bakso untuk makan malam. Cuaca di Wonosobo tidak berbeda, tetap dingin seperti biasanya. Kami sengaja datang malam hari karena memang merencanakan untuk bermalam di basecamp dan pendakian akan dilakukan pagi hari. Menginap di basecamp tentu tidak dikenakan biaya. Penjaga basecamp juga ramah dan baik!



Sekadar informasi, kami menyewa beberapa alat pendakian di Wonosobo. Lokasinya tidak begitu dekat  dengan basecamp. Namanya Shelter Outdoor Wonosobo. Berikut kontaknya: +62 858-6992-9922. Barangkali ada yang butuh untuk urusan persewaan perlengkapan pendakian. 

Basecamp Blembem bersih dan luas. Fasilitas WC yang disediakan cukup banyak. Ada beberapa warung makan juga. Salah satu yang mencolok dari basecamp ini adalah peraturannya yang sungguh ketat! Jangan main-main soal sampah, dendanya bikin kejer. Sebelum pendakian, barang bawaandicek satu-persatu untuk menegtahui jumlah sampahnya. Pendaki juga tidak boleh membawa air dengan kemasan plastik. Di sana, disediakan sewaan jeriken air dan free trash bag untuk tempat sampah. Mereka juga memberikan plastik untuk membungkus pakaian ganti kita selama pendakian. Tujuannya tentu untuk menjaga agar bawaan tetap kering. 

Biaya simaksi pendakian Rp50.000,00. Dibandingkan dengan gunung-gunung lain di Wonosobo, memang lebih mahal. Biaya ini sudah termasuk biaya ojek ke gerbang pendakian. Jarak basecamp dan gerbang pendakian cukup jauh. Btw, ojeknya pakai truk. Biasanya berbarengan juga dengan pendaki yang lain. Oh, iya, sewa jerikennya Rp10.000,00. Uangnya bisa dikembalikan Rp8.000,00 atau jerikennya bisa dijadikan hak milik pribadi. 

Kami mulai pendakian sekitar pukul 09:30 WIB dan sampai di puncak menjelang magrib. Durasi yang sangat panjang memang. Pendakian yang amat-sangat santai. Jalur pendakian diawali dengan kebun teh dan memasuki pos Kandang Celeng. Pos Kandang Celeng ini jalurnya agak becek jika dibandingkan dengan jalur pos yang lain. Hutannya juga cukup rimbun. 




Di sepanjang jalur pendakian, kami banyak berhenti untuk melihat jenis-jenis tumbuhan. Kami juga sempat istirahat lama sambil ngopi dan makan cemilan. Sambat kelelahan di sepanjang jalan tentu juga dilakukan. Hal lain yang menyenangkan adalah pembicaraan mendalam yang beberapa kali reflek terucap. Di tengah kelelahan, masih sempat memikirkan hal yang serius. Semacam deep talk yang biasa kami lakukan sebelum tidur (kalau sedang menginap bersama). Bedanya, ini dilakukan secara singkat, sambil kelelahan, di jalur pendakian. 



Setelah mendirikan tenda, satu rombongan tiba. Mereka asli dari Wonosobo, sepertinya sedang open trip karena rombongan mereka banyak sekali. Unggah-ungguh dan berkenalan sebentar, lalu kami masuk ke tenda. Siap untuk masak, perut sudah keroncongan. Kami sama-sama tau, yang terkenal dari Gunung Kembang adalah babinya. Diwanti-wanti juga oleh pihak basecamp untuk tidak membawa makanan yang baunya menyengat, ini dapat mengundang kehadiran si bagas a.k.a babi ganas. Selesai masak, kami menggantungkan semua logistik di pohon dekat tenda. 

Tak lama, rombongan dari Wonosobo memberi tahu bahwa dari tadi si bagas mengelilingi tenda kami. Kami disarankan untuk memindahkan tenda, bergabung saja dengan mereka. Awalnya menolak, karena di sana sangat ramai dan sudah pasti berisik. Suasana sepi dan tenang adalah yang kami cari. Setelah disampaikan bahwa logistik kami sudah raib dimakan babi, barulah ada rasa takut dan keatr-ketir. Untuk pertama kali juga kami melihat babi hutan secara langsung.

Akhirnya, tenda kami dipindahkan dekat mereka. Mereka yang membantu. Di dalam tenda, pun tidak bisa tidur karena takut diseruduk babi! Takut tendanya rusak, hahaha. Tengah malam, kami keluar dan bergabung ngobrol dengan mereka. Sambil ngopi tentu saja, untuk menghangatkan badan. Dibuatkan tempe mendoan juga. Lepas tengah malam, kami numpang tidur di tenda mereka. Salah satu teman mereka tidur di tenda kami. 

Begitulah, kita seringkali menolak niat baik orang lain dengan dalih apa yang kita pikirkan jauh lebih baik. Betapa angkuhnya saya sebagai manusia. Tidak bisa membayangkan jika malam itu tidak ada bantuan dari mereka. Terima kasih banyak! Tidak bisa kusebutkan satu-persatu, jumlah kalian banyak. Pokoknya, terima kasih!





Malam itu rasanya saya mau mati dan kapok naik gunung, dingin! Tapi, kapoknya hanya saat itu. Paginya sudah sombong normal kembali. Astri Juniarti adalah orang yang paling tau betapa lemah selemah-lemahnya saya soal dingin. Susah!

Kalau ada informasi yang ingin ditanyakan terkait Gunung Kembang, mari berinteraksi lewat kolom komentar atau bisa main ke media sosial saya: @dini__fr.


Wonosobo, 3 Juli 2021

18 Mei 2021

Budget Pendakian Gunung Ungaran, Yogyakarta--Semarang

 

Sumber: Dokumen Pribadi 

Salah satu yang sering ditanyakan ketika ingin mendaki, butuh biaya berapa sih buat naik gunung? Saya akan berbagi informasi tentang pengeluaran yang dihabiskan untuk melakukan pendakian ke Gunung Ungaran. I'm not an expert, btw. Semua yang saya sampaikan hanya berdasar sedikit pengetahuan dan pengalaman pribadi.

  • Transportasi
Saya berangkat dari Yogyakarta ke Semarang menggunakan motor matic Mio GT yang borosnya nauzubillah. Menghabiskan sekitar Rp65.000,00 untuk bensin, PP. Perjalanan normal dari Yogyakarta ke Semarang menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam. Berhubung kemarin berangkat pagi dan jalanan masih sepi, 2,5 jam saya udah sampai di Semarang. Tepatnya di kos Astri, teman dalam pendakian ini. 
  • Alat dan Perlengkapan
Saya sengaja sewa alat dan perlengkapan di Semarang. Sebab ada rencana untuk bermalam di Semarang setelah pendakian. Untuk persewaan, umumnya biaya dihitung satu malam dua hari. Di tempat sewa ini, kalau sewa untuk dua malam tiga hari biayanya tidak dihitung 2x lipat. Ada potongan. Namun, ada juga tempat sewa yang menghitung biaya sewa menjadi 2x lipat. Berikut alat yang kami sewa untuk perlengkapan pendakian.
  1. Tenda double layer kapasitas 2 orang (1 x Rp20.000,00)
  2. Sleeping bag polar (2 x Rp10.000,00)
  3. Coocking set (1 x Rp7.000,00)
  4. Kompor (1 x Rp7.000,00)
  5. Gas isi full (1 x Rp7.000,00)
  6. Matras (2 x Rp5.000,00)
  7. Lampu tenda (1 x Rp5.000,00)
  8. Carrier 60L (1 x Rp20.000,00)
  9. Taracking pole (2 x Rp10.000,00)
Total sekitar Rp116.000,00. Dari Mas Sewaan, kami hanya diminta membayar Rp100.000,00, hehe (untuk hitungan satu malam dua hari). 
  • Retribusi
Biaya retribusi pendakian Gunung Ungaran via Perantunan sebesar Rp15.000,00/orang dan biaya parkir motor Rp4.000,00,
  • Logistik
Kebutuhan logistik menyesuaikan dengan selera masing-masing kalau mendaki. Paling penting air minyum harus cukup! Jangan pelit dan jangan males bawa air karena berat. Logistik dihitung untuk berapa kali makan berat selama pendakian, snack untuk ngemil selama pendakian atau ngobrol-ngobrol cantik di dalam tenda, dan buah yang banyak kandungan airnya (opsional). Kemarin kita menghabiskan sekitar Rp150.000,00 untuk logistik. Ini hitungannya sudah sangat banyak karena kami emang doyan makan~
  • Perlengkapan lain:
Perlengkapan lain yang tidak boleh dilupakan adalah P3K dan jas hujan. Sekali lagi, jangan pelit untuk beli perlengkapan P3K standart dan obat-obat pribadi. P3K yang selalu saya bawa biasanya Tolak Angin, handsaplast, pisau kecil, paracetamol, minyak cap kapak, dan koyo. Untuk minyak cap kapak dan koyo adalah yang paling wajib, sangat membantu menghangatkan badan :v 

Total yang kita habiskan untuk pendakian ini adalah Rp300.000,00-- untuk keperluan bersama. Dibagi dua jadi kurang lebih Rp150.000,00. Kalau untuk saya yang dari Yogyakarta, kira-kira totalnya Rp230.000,00++. Ini hitungan kasar ya, karena jajan-jajan kicik di perjalanan tidak masuk hitungan. 


#Mt.Ungaran #Ungaran 

30 Maret 2021

Jumpa Ida Bagus Ketut Lasem di Pulau Panjang


Pulau Panjang (20/03/2020), sekitar pukul 18.30 WIB untuk pertama kalinya kami menginjakkan kaki di Pulau Panjang. Setelah unggah-ungguh, kami memutuskan untuk pisah dari rombongan Mas Miftah, pemilik perahu yang memberikan kami tumpangan. Agar tidak merepotkan rombongan.

Belum lepas senyum sumringah dari wajah. Salah satu emosi senang akan sebuah perjalanan yang tak terencana. Dari arah warung, seorang laki-laki datang menghampiri. Setibanya beliau di bawah cahaya redup yang tergantung di pohon pinus, barulah kami tau bahwa usianya sudah cukup tua.

Berawal dari perbincangan singkat, akhirnya kami pindah duduk di warung. Kemudian baru kami tau bahwa yang sedang berbincang dengan kami adalah Ida Bagus Ketut Lasem. Dari warung kecil itu lantunan radio tua dengan lagu lawas setia menemani bapak penjaga warung berusia paruh baya. Teriakkan kinjeng tangis dari hutan pun terdengar padu dengan debur ombak yang tenang.

Ida Bagus Ketut Lasem merupakan seorang seniman yang berasal dari Bali, tepatnya daerah Gianyar. Lima tahun beliau habiskan untuk menempuh pendidikan seni di Belanda. Meskipun orang tuanya menginginkan untuk sekolah hukum. Beliau juga salah satu orang yang membuat trofi Piala Presiden.

Sebagaimana yang kita tau, Bali masih sangat kental dengan sistem kasta. Kasta tertinggi di Bali adalah Brahmana yang terdiri dari Ida Bagus, Anak Agung, dan Tjokorda. Selanjutnya diikuti Kesatria, Waisya, dan Sudra.

Laki-laki kelahiran 1931—berusia 89 tahun, ini merupakan anak dari Ida Bagus Mantra, mantan gubernur Bali periode 1978—1988. Berdasarkan penuturannya, beliau juga merupakan keturunan Prabu Udayana ke-17.

Beliau sudah berjalan selama delapan tahun. Persinggahan terakhirnya Kota Jepara. Kedatangannya ke Pulau Panjang adalah untuk Ta'ziah ke makam Habib Syeikh Abu Bakar. Hal ini dilakukan atas perintah Habib Luthfi.

Beliau menikah di usia 45 tahun dan istrinya berusia 23 tahun. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Istri beliau yang kini berusia 55 tahun, menjabat jadi kepala sekolah di salah satu SMA favorit di Bali, SMA 1 Bali.  

Oh, iya. Salah satu budaya di Bali, ternyata anak bungsu laki-laki jodohnya harus dicarikan oleh orang tua.

Kami juga bertanya tentang salah satu budaya yang menjadi ciri khas Bali, Nyepi. Kata beliau, orang Hindu di Bali Nyepi selama satu hari satu malam. Tanpa listrik, maupun api. Segala persiapan seperti makanan dan lainnya, tentu sudah disiapkan satu hari sebelumnya. Jika ketahuan melanggar, bisa dikenakan denda sebesar 50 juta.

Pertanyaan kami, “Lalu bagaimana dengan turis dan orang yang beragama non-Hindu?”

Mereka yang mengikuti, kata beliau. Orang Eropa kebanyakan justru merasa senang. Merasakan nikmatnya Nyepi di Bali. Merasakan hening kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi.

"Damai adalah indah. Paling indah adalah damai" ucap Beliau.

Nilai toleransi di Bali sangat baik. Semuanya saling menjaga nama baik. Ketika Nyepi, orang Islam yang menjaga. Begitu pula sebaliknya. Ketika bulan Ramadan, orang non-Islam yang menjaga. 

Perbincangan kami juga sampai pada masa muda beliau. Ketika Zaman Penjajahan Jepang, beliau berusia 12 tahun. Peristiwa 1965 yang terekam di memorinya meninggalkan ingatan yang menyakitkan. Pasca 1965, Bali pernah diserang Madura. Oleh Banyuwangi, Bali ingin diislamkan. Lalu tanggapan orang Bali, "Kalau kami diislamkan, menangislah kamu. Tapi bukan air mata putih, air mata darah. Sampai titik penghabisan".

“Semua agama itu baik. Tinggal faktor bagaimana manusia yang menjalankannya” ucap Beliau.

Sebagai kawula muda yang ketika itu sedang merasa kehilangan arah, tentunya saya tidak lupa meminta wejangan kepada Beliau. Tentang apa yang sebaiknya jangan dilakukan di masa muda, agar tidak menyesal ketika sudah tua kelak. Pesan dari beliau untuk kami.

  1. Jaga nama baik diri sendiri. Jangan sampai ternodai. Kalau kamu jatuh, kamu sendiri yang rugi. Jadilah manusia yang mulia.
  2. Taat pada agama. Ikuti jejak yang terbaik. Agama apaun terserah. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan.
  3. Sopanlah kepada sesama, terutama orang tua. Jangan pernah menghina sesama. Kalian mahasiswa, jangan sampai memandang rendah orang lain.

InsyaAllah  hidup tidak akan menyesal.

Yang paling asik dari sebuah perjalanan adalah ketika meminta doa dari orang-orang yang ditemui selama perjalanan.

"Yang penting sampean lulus. Aamiin"

"Sampean bisa ketemu sama saya itu syukur sekali. Besok saja kita foto".

Sayang sekali, esoknya kami malah tidak sempat menemui beliau lagi. Agak oleng karena semalaman tidak bisa tidur. Pertama, karena menghabiskan malam dengan rombongan yang baru berkenalan malam itu juga, kawan-kawan dari Balai Perikanan. Kedua, karena rombongan Mas Andi dan Haydar (sama, baru kenal malam itu juga) nyalain musik guede-guede pas Subuh, yang mana jam segitu kami baru mau tidur. Bagaimanapun, bertemu mereka semua adalah hal menyenangkan, akan kuceritakan nanti.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Boleh diluruskan apabila terdapat informasi yang keliru. Apa yang tertulis di sini semuanya berdasarkan pengalaman dan hasil perbincangan.

24 Maret 2021

Bermalam di Kota Solo


Solo, (20/03/2021)--19 Maret sekitar pukul 23.00 WIB kami tiba di Solo. Satu hal yang membuatku agak keheranan, suasana malam di Kota Solo sungguh ramai. Berbeda dengan Kota Yogyakarta yang pukul 21.00 WIB tempat-tempat nongkrong dan warung makan sudah harus tutup. Melihat keadaan di Solo, seperti dunia ini tidak terjadi apa-apa dan sedang baik-baik saja.

Di Solo, kami bermalam di Istana Griya Hotel. Dengan biaya yang cukup murah. Rp58.000,00/malam. Kamar yang cukup luas untuk kapasitas dua orang dengan kamar mandi di dalam.

Kami tidak menjelajah Solo. Sempat pergi ke Pasar Triwindu, tetapi karena kami datang terlalu pagi, hanya beberapa toko-toko yang buka. Setelah mengelilingi Alun-Alun Solo, kami berhenti sarapan pagi di Warung Wareg Prapatan “Mak Yun”.




Makanan yang di jual di sini adalah masakan rumahan. Masakan Ibunya tidak manis seperti masakan Jawa pada umumnya. Sangat enak. Makan di sini membawa ingatan pada masakan di rumah.

Kukatakan ke Ibu penjual, “Bu, makanannya enak! Rasanya saya seperti makan di rumah”. 

Ibu penjual tersenyum mendengar komentar kami.

Kemudian aku menunduk. Mengamati bulir-bulir nasi yang bercampur dengan kuah santan. Mataku panas. Rasanya seperti Dini berbicara kepada Dini, “Memang sejak kapan makan di rumahmu terasa nikmat?”

Telunjukku segera mengusap air mata yang belum sempat mengalir. Sudahlah.

Setelah makan, lagi-lagi kami baru akan membahas ke mana tujuan kami selanjutnya. Beberapa nama kota sempat kami bincangkan. Pada akhirnya tujuan kami adalah ke Kota Jepara. Dari Solo perjalanan sekiar 5—6 jam, ditempuh dengan motor.

Keputusan yang sangat tepat memilih Jepara. Kota yang menajdi persinggahan terakhir kami ini mempertemukan kami dengan orang-orang baik. Memberi kami peluang untuk memetik pelajaran di perjalanan kali ini. Di Jepara, tepatnya Pulau Panjang, kami bertemu beberapa saudara baru.

#Solo #Traveling #GetLost

Mampir di Umbul Manten, Klaten

Klaten, (19/03/2021)--Perjalanan bermula dari seorang kawan, tidak lain dan tidak bukan, Astri Juniarti. Mengajak untuk bertemu di Klaten tanggal 20 Maret. Lagi dan lagi, masih tanpa renca perjalanan. 

Singkat cerita, perjalanan dimulai satu hari lebih awal dari jadwal. Pagi, 19 Maret, Astri berangkat dari Semarang dan aku dari Yogyakarta. Kami sepakat untuk bertemu di Soto Segeer Mbok Giyem di Klaten. Sekaligus sarapan pagi.

Soto Segeer merupakan salah satu warung yang cukup terkenal. Cabangnya sudah ada di beberapa kota di Pulau Jawa. Soto dagingnya yang khas bisa disantap dengan bermacam jenis camilan dan sate-satean yang disediakan.

Setelah makan, bukannya lanjut menuju tempat-tempat yang ingin dikunjungi, kami justru kembali ke Yogyakarta. Untuk mengantar satu motorku. Kami rasa kurang seru jika harus berjalan sendiri-sendiri dengan dua motor. Memang agak buang-buang waktu karena kami harus bolak-balik. Hikmahnya, kami dapat istirahat sebentar di kamar kosku. Sekitar pukul 14.00 WIB, kami berangkat lagi menuju Klaten.

Setibanya, kami langsung menuju Alun-Alun Klaten. Dengan tujuan mencari kepelan dan dawet bayat yang merupakan makanan khas Klaten. Sayangnya kami tidak bisa mencicipi dawet bayat karena tidak menemukan penjualnya di sekitar Alun-Alun.

(kepelan)


Akibat terbatas waktu dan hari semakin sore, kami memutuskan untuk langsung menuju Umbul Kemanten atau Umbul Manten. Waktu tempuh sekitar 30—40 menit dari Alun-Alun Klaten.

Dari sekian banyak wisata “Umbul” yang terkenal di Klaten, kami memilih Umbul Manten karena suasana dan tempatnya masih terbilang alami. Belum banyak sentuhan tangan dan perubahan.

Untuk masuk ke Umbul Manten, hanya perlu mengeluarkan biaya untuk parkir motor sebesar Rp3.000,00 dan retribusi masuk Rp10.000,00/orang.

Berikut sejarah mengapa tempat ini disebut Umbul Manten:


Air di Umbul Manten sangat segar dan jernih karena langsung berasal dari mata air. Ada beberapa pilihan kolam. Tersedia juga kolam yang tidak dalam jika teman-teman belum bisa berenang. Di sini juga kami merasakan terapi ikan. Tidak dipungut biaya lagi karena terapi ikan berada di sebelah kolam utama.

Tempat bilas di sini juga cukup memadai. Banyak juga warung yang menyediakan beragam makanan dan menjual beberapa keperluan untuk berenang.



Sekitar pukul 18.40 WIB, kami selesai mandi dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Motor kami sudah mengarah ke Kota Solo. Namun, di tengah perjalanan kami baru teringat ada satu tempat yang belum kami datangi di Klaten, Angkringan Korea.

Tanpa berpikir, kami langsung memutar balik laju motor. Kembali ke Klaten. Karena jarak yang sudah cukup jauh dan beberapa insiden di jalan, kami tiba di Angkringan Korea sekitar pukul 21.00 WIB.

Tujuan kami ke sini hanya satu, ingin mencoba minuman Bukan S*ju yang satu botolnya dihargai Rp45.000,00. Setelah mendapat apa yang kami cari, kami duduk sebentar di Angkringan Korea untuk membahas di mana persinggahan kami malam ini. Mas penjaga di Angkringan Korea juga ramah. Mungkin untuk teman-teman yang penasaran—apalagi pecinta K-POP, boleh lah merasakan berkunjung ke angkirngan ini.


Setelah diskusi dan sedikit ngobrol dengan Mas Penjaga, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di Kota Solo. Karena terlalu jauh jika harus langsung ke Semarang. Tubuh kami juga perlu istirahat, perjalanan masih akan berlangsung selama tiga hari kedepan.

Sedikit cerita tentang Solo dan Jepara akan kuceritakan secara terpisah di postingan selanjutnya. Lebih seru, tentu saja.

Terima kasih sudah membaca hingga selesai.

Di manapun kamu berada, semoga sehat dan bahagia selalu. Salam. 

#Travel #GetLost #Klaten