24 Juli 2020

Sepucuk Surat untuk Sahabat

Sungailiat, 03 Agustus 2015


Terbungkus Rindu

Aku tidak akan pernah lupa, waktu aku terjebak pada dua pilihan yang akan membawaku kemana nantinya akan berlabuh. Dan sekarang, aku di sini. Di sebuah tempat yang jauh darimu. Entah harus kusesali atau tetap menerima pilihanku ini. Belum jauh rasanya aku meninggalkan jejak itu. Saat ini aku merasa kembali terlempar ke masa lalu, bernostalgia bersama semua kenangan yang telah berlalu.

Terkadang, dengan mudah aku dapat melupakan dirimu. Namun bukan tidak pernah bayanganmu datang kembali, kemudian meracuni segala yang ada pada pikiranku. Aku membenci keadaan ini. Keadaan yang membuatku menyesali pilihanku sebelumnya. Apapun kebiasaan yang aku lakukan selalu membawa ingatanku kembali tertuju padamu. Hanya kamu. Sekarang, apa yang bisa kulakukan? Apa aku bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala? Jarak kita tidak dekat, namun pikiran kita tetap melekatt. Benar bukan? Ya, itu dulu.

Apa kamu masih mengingat kejadian-kejadian itu? Um, bisa jadi tidak. Ketika itu. 

Cerita kita dibungkus rapi oleh waktu. Terbungkus berarti tidak hilang. Terbungkus rapi karena kita menjalani kehidupan bersama, kita menikmati setiap detik pada pertemuan. Pertemuan kita hanya enam hari dalam satu minggu. Begitu sulit rasanya menuliskan cerita tentang bahagianya aku yang pernah melewati hari bersamamu. 

Ingat kah?
Hari pertama masuk sekolah. Kita belum saling mengenal, belum saling peduli. Waktu memulai semuanya. Aku duduk tepat dibarisan nomor dua dari belakang. Dan kau duduk tepat di belakangku. Kemudian keakraban mulai terasa. Saling bercerita, tertawa, mengeluh, mengejek teman kelas. Terima kasih untuk waktu-waktu di hari itu.

Masih ingat dengan pasangan **** dan ***** yang duduk tepat di sebelah kananmu? :) 
Karena insiden mereka, aku yang harus dipindahkan oleh guru Agama untuk duduk bersama **** agar pasangan itu tidak sibuk sendiri saat pelajaran. Kemudian skenarionya jadi berubah. Seiring waktu, aku juga berteman akrab dengan ****. Dan kamu menjauh. Jam-jam pelajaran yang dulu dilewati bercanda denganmu, justru berganti dengan ****.

Aku tidak pernah lupa dengan sindiran halus yang kamu sampaikan saat kita berbincang singkat. Aku juga tidak pernha lupa dengan hari itu, saat pelajaran telah usai dan kelas kita mendapat giliran salat zuhur berjamaah. Ketika sedang membereskan alat tulisku, kamu memberikan secarik kertas kecil padaku, kemudian kamu pergi begitu saja.


Salam rindu buatmu di sana
walaupun kau jauh di mata

Ya, itu dari lirik lagu.
Degub jantungku bekerja lebih cepat setelah membaca isi secarik kertas itu. Saat berpapasan di musala pun kita hanya saling memandang. Sejak saat itu, kertas itu kusimpan. Namun sekarang surat itu memang telah hilang bersama kamu yang juga menghilang ditelan oleh waktu.



Untuk kamu, sahabatku,

EP.








____________________________________________________________________


Um 😌

Tadi aku sengaja membongkar buku-buku SMA untuk mencari buku paket Biologi yang dibutuhkan temanku. Kemudian iseng membuka binder corat-coretku ketika SMA, kemudian ketemulah surat itu. Yap. Surat itu ditulis olehku di tahun 2015, untuk sahabatku saat SMP. Sedikit ingatanku, saat menulis surat itu sepertinya aku memang sedang sedih dan merasa kosong. Aku menyadari, bahwa aku bukan penjaga hubungan yang baik. Setelah lulus SMP pun aku tidak menjaga komunikasi dengan teman-temanku. Padahal teknologi sudah cukup canggih dan saat SMP tentu kami sudah aktif di media sosial. 

Aku merasa kosong karena ketika itu belum berhasil menemukan sosok teman yang sama persis dengan teman-teman dekatku ketika SMP. Entahlah, di tempat baru itu semuanya terasa berbeda. Menurut pandanganku, semua orang seperti mengenakan topeng. 

Jangan bilang suratku lebay ya, hahaha. Aku tau, penulisannya pun tidak teratur. Ya, maklum lah saat itu maish, ya, gitu deh (padahal sekrang juga kalau nulis masih sering ngga beraturan πŸ™ˆ). Aku cuma mau mengenang dan mengabadikan. Agar tidak hilang, makanya kutulis di sini.

By the way, setelah kejadian secarik surat itu, kami malah jadi canggung satu sama lain. Setelah rasa canggung itu membuat pertemanan kami jadi semakin renggang, asumsiku saat itu jangan-jangan karena kami saling punya perasaan yang lebih, tapi sama-sama pura-pura bego, naif. Sebenernya jijik bilang gini. Kesannya aku yang terlalu percaya diri ya, HAHAHAHA πŸ˜† Tapi gimana, emang dulu gitu. Kita memperlakukan satu sama lain itu beda dengan cara kita memperlakukan temen-temen kelas yang lain. 

Nah, udah ngerasa betapa ngga enaknya kehilangan sahabat, setelah itu aku jadi selalu ngingetin ke diri sendiri, jangan sampai kejadian yang sama terulang lagi. Alhasil, ketika kenaikan kelas dan bertemu dengan teman-teman kelas yang baru, aku jadi berusaha untuk bersikap biasa aja ke temen-temen deket yang lawan jenis.Trauma rasanya kehilangan sahabat cuma karena cinta-cinta monyet yang nggak jelas.

Terus, aku ngga pernah naksir orang dong selama sekolah?
Oh, tentu pernah dong 😁
Tapi aku pinter-pinter bego, suka sama orang tuh jarang, tapi kalau udah suka, hilangnya lama. Dulu dua tahun sekelas sama crush, dan senengnya karena kami punya hubungan yang cukup baiklah sebagai temen (sering adu nilai pas ulangan. Kalau bimbel kadang duduk berdua. Pokoknya bikin belajarku jadi semangat. WKWK, Lha kok malah kebablasan πŸ˜…) Tapi semuanya disimpan rapat-rapat, jadi sampai lulus orangnya ngga tau. Bahkan sampai aku udah lulus SMA, aku belum ngelupain si crush. Sampai sekarang kadang masih suka nanyain dia ke temen-temen lama.


Udah deh, sekian. Terima kasih untuk yang sudah membaca tulisan yang ngga ada faedahnya ini, isinya cuma curhatan masa SMP, HAHA.


9 Juli 2020

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya! --Rusdi Mathari

Sumber: Dokumen Pribadi

Judul: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya!
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
September, 2016

Buku ini mulanya adalah tulisan berseri selama dua tahun di situs web Mojok.co. Sejak kali pertama tayang, kisah sufi dari Madura bernama Cak Dlahom ini segera digemari. Dibaca lebih dari setengah juta pemirsa Mojok.co.

___________________________________________________________________________________________


Buku yang uapikkk dan 'ngena' dibaca di nuansa ramadan begini. Isinya dekat sekali dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Hubungan antar manusia. Ceritanya juga ringan. Tapi sungguh sarat makna. Ketika baca buku ini rasanya kepalaku seperti diketok, "Itu lho! Selama ini kamu ngga pernah peduli. Pura-pura buta dan tuli dengan apa yang ada disekitarmu". Benar-benar banyak hal sederhana—dlm keseharian terutama sikap, perilaku, dan hubungan antar manusia, yang rasanya baru membuat mataku melek. 
Ini salah satu buku yang sering kubaca ulang perbagiannya—kalau lagi pengen hehe. Buku religius yang sangat religius.


Judulnya emang ngga salah. Kita seringkali merasa pintar, paling benar, padahal bodoh saja kita tak punya.


Cerita ku dengan buku ini:
Ia kutamatkan pada 2018. Benar-benar waktu dan tempat yang sangat berharga. Seingatku hari itu bersama teman-teman HMPS 2018/2019, survey lokasi untuk proker Kurban&Baksos. Dari pagi kami berangkat, keliling-keliling ke plosok desa²—tapi aku lupa di daerah GK atau Kulon Progo atau mana. Waktu udah mau sore, bokong udah pegel kelamaan diatas motor. Akhirnya menjelang sore  Mba Ucik ngajak ke rumahnya—Mba terbaekkk hehe. Rumahnya jauuuuuh btw hahaha. 

Magrib datang, kami masih diperjalanan. Akhirnya kami mampir buka puasa di warung kecil. Sekadar minum dan makan gorengan. Singkat cerita sampailah di rumah Mba Ucik. Kami disuguhi makan berat—senangnya haha, dan basa-basi dengan keluarganya. Selesai salat magrib, akhirnya temen-temen tarawih di desa itu. Aku lupa jg apa nama desanya.


Mau ceritain gambaran desanya sedikit, menurut pandangan ku ya. Desanya lumayan masuk ke dalem², hawanya masih seger, dingin, bukan desa yang sudah terang-benderang. Masih nemuin sapi di sekitar rmh warganya. Suasana begini ngga ada di kampungku sendiri, makanya seneng hehe. .


Okay, karena aku lg datang bulan. Aku duduk sendirian di depan mushola. Sambil nunggu temen-temen yang lagi tarawih, aku baca buku ini.


Suasana, isi cerita, suara imam yg memimpin tarawih, ah. Rasanya aku masuk ke dalam cerita dan menyaksikan sendiri Cak Dlahom berdialog juga dengan tingkah lakunya. Sulit menjelaskan rasanya dengan kata. Hehe

8 Juli 2020

Norwegian Wood--Haruki Murakami

Sumber: Dokumen Pribadi
Judul: Norwegian Wood (Noruwei no Mori)
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan ketigabelas, Januari 2020
Sipnosis:
"Kebenaran seperti apa pun, tidak mungkin bisa menyembuhkan kepediahn seseorang yang ditinggal mati kekasihnya. Kebenaran seperti apa pun, ketulusan seperti apa pun, kekuatan seperti apa pun, kelembutan seperti apa pun, tidak bisa menyembuhkan kepedihan itu. Kita hanya bisa merasakan kepedihan itu sedalam-dalamnya, dan dari situ kita mempelajari sesuatu dan sesuatu yang kita pelajari itu pun menjadi percuma di saat kita menghadapi kesedihan yang sekonyong-konyong muncul. 

KETIKA IA MENDENGAR "Norwegian Wood" karya The Beatles, Toru Watanabe terkenang Naoko, gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta-merta ia merasa terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hampir dua puluh tahun silam, terhanyut dalam dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, nafsu-nafsi, dan rasa hampa hingga ke masa seorang gadis badung, Midori, memasuki kehidupannya, sehingga ia harus memilih antara masa depan dan masa silam.

__________________________________________________________________________________________


Yap. Judulnya diambil dari salah satu lagu The Beatles, Norwegian Wood. Novel ini kuhabiskan selama beberapa hari, dan selama beberapa hari itu rasa pedih dan hampa ikut meresap ke dalam pikiranku. Saat bangun pagi untuk makan sahur, kepala nyut-nyutan krn terbayang kelanjutan deritanya.


Sulit sekali rasanya menjadi Watanabe yang terjebak di masa lalu. Setengah jiwanya terbawa oleh kematian sahabatnya—Kizuki dan setengahnya lagi terbawa oleh kematian kekasih alm. sahabatnya yang juga merupakan gadis cinta pertamanya—Naoko.


Novel ini menceritakan Watanabe yang terlempar kembali pada masa-masa kuliahnya di Tokyo. Kehidupan remaja dengan berbagai karakter tokoh pendukung yang masing-masing memiliki konflik yg juga rumit. Kematian, ya kematian. Beberapa tokoh memilih untuk mengakhiri konfliknya dengan kematian. Rasanya memang tidak lepas dari budaya harakiri Jepang.


Ndak usahlah ya kutuliskan bagaimana ceritanya. Aku cuma mau berbagi pengalaman pertama kali membaca karya Murakami. Seperti biasa saat membaca novel yg selalu menarik perhatianku adalah penokohannya. Watanabe yg ku kenal adalah seorang pendengar yg sedikit bicara, meskipun banyak hal yang berputar di kepalanya. Rasa-rasanya bagaimana cara ia merespon cerita org lain—padahal ia bingung bagaimana harus meresponnya, ingin kuterapkan juga. Sedikit bicara tapi orang yg dekat dengannya tetap senang bercerita. Entahlah, menurutku warna dalam diri Watanabe gelap sekali. 
Begitupula Midori. Hei Midori, I ♡ your 'wierd' characters. Bisakah aku seperti Midori, punya keberanian untuk menyampaikan perasaannya pada Watanabe, meskipun tau bahwa Watanabe tidak pernah lepas dari bayang-bayang perempuan yang menurutnya istri orang itu— ≧∇≦
Gamau ah, takut huhu~


Oh ya, rasa hampa pada jiwa Watanabe mengingatkanku dengan tokoh utama di novel Darah Muda. Rasanya senang dengan penceritaan dengan sudut pandang tokoh laki-laki. Ada berbagai jenis emosi yang rasanya baru terjamah olehku.


Kebenaran seperti apapun, tidak mungkin bisa menyembuhkan kepedihan seseorang yang ditinggal mati kekasihnya—Toru Watanabe.


(Based on my point of view)


Yay, nanti mau coba baca karya Murakami yang lainnya πŸŒΌ

6 Juli 2020

Ambivert - Arhsy Mentari

Sumber: Dokumen Pribadi


Judul: Ambivert
Penulis: Arshy Mentari
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan kedua, April 2020.
Sipnosis:
Anak bertumbuh menjadi remaja kemudian dewasa dan menua. Begitu banyak peran yang dijalankannyadalam kehidupan. Membuatnya menjalani dua wajah atau lebih yang tidak jarang serupa dua arah berlawanan bahkan bagai dua persimpangan yang menarik ulur hatinya. Pengalaman membuatnya selalu terkikis, terukir, terjungkir. Hingga tak jarang ia memilih unutk menjalani keseharian dengan kepura-puraan.

Tokoh aku, seorang anak perempuan dari golongan masyarakat umum, mengalami dilema itu. Dilema yang bisa jadi mewakili kisah anak perempuan lainnya di sekitar kita yang sedang mencari jati dirinya. Bagaimana pola asuh, hingga persahabatan, penghianatan, dan asmara, seolah membuatnya terpaksa mengenakan berbagai persona. Topeng-topeng yang terbentuk tanpa sengaja. Topeng-topeng yang ingin dilepaskannya tanpa tersisa untuk menemukan jati diri. 

________________________________________________________________________________________________________________

Buku ini tiba bersama tiga buku lain. 
Berhari-hari selama menunggu mereka tiba, aku ngebatin, "Ambivet akan jd yg pertama kubaca!". Potongan kalimat di buku ini sempat diunggah oleh penerbitnya. Setelah membaca itu, aku jadi punya ekspektasi tinggi tentang buku ini.


Oh ya. Ini bukan review, hanya berbagi pengalaman saat membaca. .

Lalu, apakah ekspektasiku terbayar?
Jawabannya adalah, ya. Hanya pada lima halaman pertama. .

Nanti ku jelaskan. Kita bahas dulu bagian-bagian buku ini. Secara garis besar ada tiga bagian yaitu, (1) Ia dan Mereka berisik, (2) Tentang Kita, (3) Menjadi Diri Sendiri.

Lima halaman pertama di bagian ini sangat ajaib untukku. Penulis merangkum perasaan senang yang tidak bisa saya jelaskan saat pindah. Ini pengalaman pertamaku menangis saat membaca buku, padahal baru di halaman ke tiga. .

Pada sub Lingkaran Kecil — siapa kuartikan sbg keluarga, penulis bercertia sedikit tentang masa kecilnya.
Si Diam. "Tidak banyak hal detail yang bisa dipindahkan. Kalimat ini diambil pada saat memori selesai. Ingatan yg muncul tentang masa kecil itu adalah, "Tanganmu itu tangan perusak!", Terus bersama beberapa masa lalu yg bertubi-tubi memenuhi kepala.

Kemudian, Anak Tengah.
Bagian yg cukup pedih. Memberi pengalaman aku sebagai pembicara seperti sedang berdialog menyurahkan isi hati dengan sebuah buku. Apa kamu tau rasanya terasingkan tanpa ada seorangpun yang menarik kamu dari keterasingan itu? Tidak ada yang mengenalmu. "Jadilah tangguh dan bukan tiang untuk kau sanggah", pesan yang ku garis bawahi pada bagian ini.

Udah, segini aja hehe.
Lima halaman pertama itu seperti klimaks.
Aku menikmati bagian satu, dan sedikit menikmati pada bagian tiga. Aku membaca bagian dua hanya sbg disetujui, krn rasanya tidak baik berlalu begitu saja. Bukan berarti tidak bagus, hanya tidak relevan untukku. Bagian yang membahas tentang balada hubungan. Aku belum sampai pada kehidupan 'romantis' itu.

"Setiap org punya teras, ruang tamu, dan kamar. Masing-masing tuan rumahlah yang menentukan siapa yang boleh dan tidak, kpn dan luas kebolehannya". 

Secara keseluruahan, buku ini tentang perjalanan yang membawa kita pada berbagai fase kehidupan. Pengalaman dan pelajaran membuat kita harus memainkan banyak peran dengan berbagai topeng. Meskipun itu bukan topeng yang ingin kita kenakan. .

Dari sudut pandang seorang perempuan sebagai tokoh utama.

Nilai 7,5 / 10.

Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! -- Kalis Mardiasih


Sumber: Dokumen Pribadi
Judul: Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!
Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan Pertama, Oktober 2019.
Sipnosis:
Setiap kali mendengar suara azan yang dilantunkan oleh suara sepuh terbata-bata, melihat bangunan madrasah Islam tradisional dengan keriaan anal-anak, atau sesederhana melihat papan nama masjid di perkampungan, saya sering merasa bahwa Islam telah cukup. --Islam yang Cukup

Kalis Mardiasih merisaukan fenomena beragama yang di tangan sebagian kalangan begitu eksklusif dan menyeramkan. Baginya, beragama seharusnya menyenangkan, dipenuhi kebaikan. Tidak sesak oleh amarah atau hasrat penaklukan.
Kebaikan-kebaikan itu ia temukan dalam praktik keberagamaan yang sederhana. Ia berbicara dengan orang-orang bersahaja, menyaksikan cara mereka mengamalkan kesalehan, dan menemukan Islam yang teduh di sana. Dalam dirinya, Islam tumbuh bersama dengan kegembiraan.

_________________________________________________________________________________________________________________

Buku yang dibeli sekitar akhir tahun 2019 akhirnya selesai dibaca. Setelah melihat penulisnya udah nerbitin buku lagi sekitar Maret/April lalu. Lalu ngebatin, "Astaga. Udah nerbitin buku lagi, padahal yang dibeli kemarin belum kubaca ≧ Ο‰ ≦"

Ini bukan review gaes, tapi senang ingin bercerita tentang pengalaman yang disajikan kompilasi menyelami isi buku ini.

Buku ini ringan dan renyah. Lagi dan lagi, dekat sekali dengan keseharian. Sesuai dengan pernyataan Mba Kalis sendiri yang menyatakan bahwa ia bukan pengarang yang mengusung tema Islam secara khusus. Tulisan-tulisannya didasari oleh pengalaman, baik yang dialaminya sendiri atau orang-orang yang terlibatnya. "Setiap pengalaman mestinya sah sebagai realitas keberagaman ..."

Buku ini membawa kesadaran tentang manusia tidak ada kata untuk berhenti belajar, mengenal hal-hal baru, dan mengakui keberagaman. Tidak menghargai satu hal Hanya dari satu sudut pandang. Mba Kalis menggambarkan pengalamannya yang juga pernah menjadi orang yang mudah "menghakimi perbedaan". Setelah lebih mengenal keberagaman dan buku, ia berhasil melepaskan kebiasaan tsb. Jangan pernah berhenti belajar dan selalu menambah wawasan tentang salah satu kuncinyaπŸ”‘
—saya perlu usaha yang cukup keras untuk melepaskan dirimu dari belenggu hitam-putih, sampai sekarang masih berusaha.

Kemarin kompilasi Mba Kalis salah satu cuitan selebgram dan tanggapannya ditanggapi lagi oleh nitijen. Melihat santainya respon Mba Kalis, saya jadi bertanya dalam hati, "Kok Mba Kalis ini bisa tetap nongkrong ya ngadepin orang² yg jaka sembung .....". Akhirnya menjawab saya dapat di sub bab terakhir di buku ini — Pengalaman Saya "Menikmati" Bully di Media Sosial.
Sebelum sampai pada "Menikmati", tentu saja ada beberapa fase yang harus dilewatinya.

Sedikit pesan Gus Dur yang saya kutip dari buku ini, "Jika memang melakukan kesalahan, harus belajar untuk rela meminta maaf", ikuti dengan mudahnya yang terkenal, "Melarang ideologi dan bahaslah sia-sia dan itu tidak mungkin dilakukan".

Judulnya emang ngga salah. Hijrah jangan jauh-jauh, nanti nyasar! Nyasar ke mana? Baca aja sendiri bukunya. Barangkali dapat pengalaman yang berbeda ^^ ♡

PASAR LAMA


Sumber: Dokumen pribadi
Jaffron
Sumber: Dokumen pribadi

 

Jaffron, binatang yang perangainya menjelma  iblis dan malaikat. Tidak perlu bertanya, binatang ini tak memiliki nama ilmiah. 
Pulau ini dikenal dengan kualitas timahnya yang sangat baik. Tambang timah seperti mata pisau. Tapi bukan ini yang akan kuceritakan. Kota kecil di bagian barat pulau ini, pencaharian masyarakatnya selain melaut, sama seperti yang dilakulan orang-orang di zaman peradaban kuno dan masih bertahan hingga sekarang, bercocok tanam.


Penghasilan yang diperoleh baik dari laut maupun darat, semuaya diperjualbelikan di pasar Gebong. Pasar sebagai salah satu pemutar roda ekonomi. Apalagi pentingnya kalau bukan untuk mengisi perut!  Segala bentuk perkembangan sosial dalam masyarakat bisa ditemukan di pasar. Apalagi pasar Gebong, tidak perlu televisi untuk mengetahui kabar dari sebrang pulau. Para nelayan ketika membawa ikan kepada pengepul, merekalah yang menyampaikan berita buruk dan baik. Kemudian menyebar secepat kilat ke seantero pasar.


Semakin pasar Gebong berkembang, semakin lalailah mereka. Beberapa lupa perannya sebagai manusia. Sepanjang malam para lelaki berpesta tuak! Gebong menjadi pasar 24 jam! Sementara istri-istri mereka di rumah mengupas ketela sambil cemas berdebar membayangkan suami mereka pulang dengan membawa perempuan muda. Mereka juga gemar menghisap darah saudaranya sendiri. Para kelompok pengepul seringkali bersekongkol melakukan permainan harga. Jual-beli barang haram mulai marak.


Sebelum berhasil pemilik modal menguasai pasar, Jaffron bangun dan keluar dari sungai Jero. Sungai besar yang terletak tepat disebelah pasar. Selain karena geram dengan kegiatan orang-orang di pasar Gebong, ia bangun karena sungai tempat tinggalnya telah menguning akibat orang-orang pasar membuang sampah dan tai seenaknya.


"Kalian telah menjelma pembunuh!" maki Jaffron, sebelum  memporak-porandakan pasar Gebong.


Sebelum melanjutkan cerita yg tak populer ini, aku ingin memberi tahu bahwa gambar ini dibuat oleh orang-orang pasar generasi selanjutnya untuk mengenang Jaffron sebagai sejarah di masa lalu. Siapa yang menggambarnya? Entahlah aku hanya memotret.


Sumber: Dokumen pribadi
Sungai Jero
Sumber: Dokumen pribadi 


Penampakan Sungai Jero, tempat di mana Jaffron berasal. Padahal Jaffron tau, menginjak tempat tinggal manusia sama dengan mengunjungi neraka dunia. Lalu mau bagaimana lagi, binatang saja tak punya hasrat untuk tinggal di tempat yang kotor.


Hari itu merupakan peristiwa yang tidak terlupakan bagi orang-orang selanjutnya yang hidup di Pasar Gebong. Pembantaian paling ganas yang pernah terjadi di muka bumi. Namun, semacam jadi kesenangan bagi burung pemakan bangkai dan linta penghisap darah.


Manusia-manusia telah menerima pembalasan setimpal atas perbuatan mereka. Tak lantas membuat Jaffron puas. Setelah kejadian berdarah di Pasar Gebong, Jaffron meninggalkan daerah itu, sebab ia tau bahwa Sungai Jero tak akan kembali seperti sedia kala. "Dasar manusia! Jangankan masih hidup, sudah mati pun tetap meninggalkan bencana" umpatnya sebelum melesap dalam perjalanannya mengelilingi dunia.


Berdasarkan kabar burung yang beredar, kini Jaffron telah diberi titah oleh para dewa untuk menjaga danau tertua dan terdalam. Jaffron berhasil membuat danau yang terletak di Siberia tersebut menjadi danau terbersih di dunia!


Danau Baykal.


Sumber: Dokumen pribadi
Pasar Gebong
Sumber: Dokumen pribadi 


Bukan hanya karena peristiwa berdarah di masa lalu yang menjadi penyebab pasar Gebong hanya tinggal cerita. Laut pulau ini menjadi lintasan perdagangan dan tempat persinggahan bagi para pelancong. Beginilah nasib daerah kepulauan. Seiring waktu, maka masuknya berbagai kebudayaan tidak dapat dihindari. Awalnya orang-orang membangun rumah bertingkat hanya untuk menjadikannya kamar tidur. Lantai bawah dijadikan dapur, ruang berkumpul, dan tempat penyimpanan barang. Hari ini rumah bertingkat dijadikan sebagai simbol kekayaan harta.
 

Kerusakan yang berawal dari Sungai Jero kini merambat ke darat, laut, bahkan hingga cakrawala. Bangunan-bangunan dibangun tinggi menjulang menutupi langit. Menara bangunan-bangunan itu menghembuskan asap-asap hitam ke udara. Kata mereka, itu bagian dari proses pengelolahan hasil tambang. Jika penghuni pulau ini ingin sejahtera, maka inilah yang harus dilakukan. Lubang-lubang raksasa digali sedalam-dalamnya. Memperkosa bumi adalah hobi baru manusia di zaman ini. Menulis cerita ini sebenarnya juga membingungkan. Standar sejahtera siapa yang harusnya diterapkan pada kehidupan masyarakat pulau? Apakah standar mereka, orang-orang yang bahkan lebih maju dari pada zaman itu?


Sudah cukuplah meratapi akhir dari cerita ini. Pasar Gebong yang memutar roda ekonomi, kini sudah tak lagi pada porosnya. Modernisasi turut mengambil peran dalam menjadikan pasar ini tinggal cerita. Sekarang mereka punya pasar baru, tapi hanya pemilik kantong tebal yang bisa ke sana.


Puing-puing bangunan ini menjadi saksi bisu bahwa sesungguhnya setiap masyarakat memiliki standar mereka sendiri tentang sejahtera. Tak setinggi milik para pengejar zaman. 


Bencana. Bencana. Bencana bertubi-tubi.