Jaffron, binatang yang perangainya menjelma iblis dan malaikat. Tidak perlu bertanya, binatang ini tak memiliki nama ilmiah.
Pulau ini dikenal dengan kualitas timahnya yang sangat baik. Tambang timah seperti mata pisau. Tapi bukan ini yang akan kuceritakan. Kota kecil di bagian barat pulau ini, pencaharian masyarakatnya selain melaut, sama seperti yang dilakulan orang-orang di zaman peradaban kuno dan masih bertahan hingga sekarang, bercocok tanam.
Penghasilan yang diperoleh baik dari laut maupun darat, semuaya diperjualbelikan di pasar Gebong. Pasar sebagai salah satu pemutar roda ekonomi. Apalagi pentingnya kalau bukan untuk mengisi perut! Segala bentuk perkembangan sosial dalam masyarakat bisa ditemukan di pasar. Apalagi pasar Gebong, tidak perlu televisi untuk mengetahui kabar dari sebrang pulau. Para nelayan ketika membawa ikan kepada pengepul, merekalah yang menyampaikan berita buruk dan baik. Kemudian menyebar secepat kilat ke seantero pasar.
Semakin pasar Gebong berkembang, semakin lalailah mereka. Beberapa lupa perannya sebagai manusia. Sepanjang malam para lelaki berpesta tuak! Gebong menjadi pasar 24 jam! Sementara istri-istri mereka di rumah mengupas ketela sambil cemas berdebar membayangkan suami mereka pulang dengan membawa perempuan muda. Mereka juga gemar menghisap darah saudaranya sendiri. Para kelompok pengepul seringkali bersekongkol melakukan permainan harga. Jual-beli barang haram mulai marak.
Sebelum berhasil pemilik modal menguasai pasar, Jaffron bangun dan keluar dari sungai Jero. Sungai besar yang terletak tepat disebelah pasar. Selain karena geram dengan kegiatan orang-orang di pasar Gebong, ia bangun karena sungai tempat tinggalnya telah menguning akibat orang-orang pasar membuang sampah dan tai seenaknya.
"Kalian telah menjelma pembunuh!" maki Jaffron, sebelum memporak-porandakan pasar Gebong.
Sebelum melanjutkan cerita yg tak populer ini, aku ingin memberi tahu bahwa gambar ini dibuat oleh orang-orang pasar generasi selanjutnya untuk mengenang Jaffron sebagai sejarah di masa lalu. Siapa yang menggambarnya? Entahlah aku hanya memotret.
Penampakan Sungai Jero, tempat di mana Jaffron berasal. Padahal Jaffron tau, menginjak tempat tinggal manusia sama dengan mengunjungi neraka dunia. Lalu mau bagaimana lagi, binatang saja tak punya hasrat untuk tinggal di tempat yang kotor.
Hari itu merupakan peristiwa yang tidak terlupakan bagi orang-orang selanjutnya yang hidup di Pasar Gebong. Pembantaian paling ganas yang pernah terjadi di muka bumi. Namun, semacam jadi kesenangan bagi burung pemakan bangkai dan linta penghisap darah.
Manusia-manusia telah menerima pembalasan setimpal atas perbuatan mereka. Tak lantas membuat Jaffron puas. Setelah kejadian berdarah di Pasar Gebong, Jaffron meninggalkan daerah itu, sebab ia tau bahwa Sungai Jero tak akan kembali seperti sedia kala. "Dasar manusia! Jangankan masih hidup, sudah mati pun tetap meninggalkan bencana" umpatnya sebelum melesap dalam perjalanannya mengelilingi dunia.
Berdasarkan kabar burung yang beredar, kini Jaffron telah diberi titah oleh para dewa untuk menjaga danau tertua dan terdalam. Jaffron berhasil membuat danau yang terletak di Siberia tersebut menjadi danau terbersih di dunia!
Danau Baykal.
Bukan hanya karena peristiwa berdarah di masa lalu yang menjadi penyebab pasar Gebong hanya tinggal cerita. Laut pulau ini menjadi lintasan perdagangan dan tempat persinggahan bagi para pelancong. Beginilah nasib daerah kepulauan. Seiring waktu, maka masuknya berbagai kebudayaan tidak dapat dihindari. Awalnya orang-orang membangun rumah bertingkat hanya untuk menjadikannya kamar tidur. Lantai bawah dijadikan dapur, ruang berkumpul, dan tempat penyimpanan barang. Hari ini rumah bertingkat dijadikan sebagai simbol kekayaan harta.
Kerusakan yang berawal dari Sungai Jero kini merambat ke darat, laut, bahkan hingga cakrawala. Bangunan-bangunan dibangun tinggi menjulang menutupi langit. Menara bangunan-bangunan itu menghembuskan asap-asap hitam ke udara. Kata mereka, itu bagian dari proses pengelolahan hasil tambang. Jika penghuni pulau ini ingin sejahtera, maka inilah yang harus dilakukan. Lubang-lubang raksasa digali sedalam-dalamnya. Memperkosa bumi adalah hobi baru manusia di zaman ini. Menulis cerita ini sebenarnya juga membingungkan. Standar sejahtera siapa yang harusnya diterapkan pada kehidupan masyarakat pulau? Apakah standar mereka, orang-orang yang bahkan lebih maju dari pada zaman itu?
Sudah cukuplah meratapi akhir dari cerita ini. Pasar Gebong yang memutar roda ekonomi, kini sudah tak lagi pada porosnya. Modernisasi turut mengambil peran dalam menjadikan pasar ini tinggal cerita. Sekarang mereka punya pasar baru, tapi hanya pemilik kantong tebal yang bisa ke sana.
Puing-puing bangunan ini menjadi saksi bisu bahwa sesungguhnya setiap masyarakat memiliki standar mereka sendiri tentang sejahtera. Tak setinggi milik para pengejar zaman.
Bencana. Bencana. Bencana bertubi-tubi.
0 Comments:
Posting Komentar