9 Februari 2024

Sanggar Anak Alam (SALAM): Sekolah Alternatif Biasa yang Luar Biasa

 


“Di kelas lain ada dosen yang sampai menanyakan, ‘konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) itu murni hasil pemikiran beliau sendiri atau beliau juga mengadopsi konsep pendidikan dari luar?’” Kisah seorang teman. Selama ini, saya pribadi sekadar mempelajari dan memahami, tidak mengkritisi sampai sejauh itu. Pertanyaan tersebut terjawab di buku Sekolah Biasa Saja.


Patrap Triloka, konsep dasar kerja pendidik yang digagas oleh KHD:

  1. ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan);

  2. ing madya mangun karsa (di tengah membangun kemauan);

  3. tut wuri handayani (dari belakang mendukung).


Konsep ini ternyata dikembangkan oleh KHD setelah beliau mempelajari konsep-konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Tagore (India). Memangnya, bagaimana konsep pendidikan dari kedua tokoh ini & KHD? Di buku ini ada penjabaran singkatnya. Kalau ingin tahu lebih dalam, mungkin bisa mencari referensi lain.



Bagian awal buku ini menyuguhkan cerita tentang beberapa tokoh penting dunia pendidikan. Membaca berbagai miskonsepsi dan menyimpangnya dunia pendidikan kita. Beberapa yang mungkin sudah kita sadari sejak dulu: sekolah hanya mencetak siswa yang ‘seragam’, sekolah hanya mencetak manusia untuk memenuhi kebutuhan industri, sekolah menghasilkan anak yang berlomba-lomba untuk mengalahkan orang lain. Jauh sekali dari konsep pendidikan yang digaungkan oleh KHD, yang seharusnya anak didik sesuai dengan kodrat yang ada dalam dirinya sehingga mengantarkannya menjadi manusia yang utuh.


Peran pendidik yang diumpamakan oleh KHD: seorang petani yang menanam dan merawat bibit tanamannya dg baik, dipenuhi segala kebutuhannya untuk tumbuh. Menanam padi, ya, tumbuhnya padi. Bukan menanam singkong, tumbuhnya jagung *eh. Sama seperti ikan yang dilatih untuk berenang, bukan diminta untuk terbang.


Sejarah panjang pendidikan di Indonesia yang melewati beberapa masa dan beragam perubahan juga dijabarkan secara singkat di buku ini. 


Buku ini mengenalkan sekolah alternatif SALAM (Sanggar Anak Alam) di Yogyakarta. Sekolah yang seperti judul buku ini, sekolah biasa saja. SALAM memiliki metodologi “daur belajar” dari pengalaman yang distrukturkan (structural experiences learning cycle). Ini seperti experiential learning yang pernah saya pelajari di kelas dan kala itu–sampai sekarang, pemahaman saya masih abu-abu bagaimana implementasi idealnya.


(Maafkan, ya, tapi belajar seperti ini kalau tidak melihat implementasi konkritnya saya sulit paham. Memang tdk ada belajar yang selesai 🙇🏽‍♀️)



Proses dan kegiatan belajar di SALAM adalah praktik dari pembelajaran kontekstual. saya dan beberapa teman pernah membayangkan bagaimana “serunya” kalau pembelajaran setiap mata pelajaran di sekolah itu saling berkesinambungan, dengan bahan ajar yang nyata dan betul-betul ada di lingkungan sekolah/anak tinggal. Selain untuk pembangunan daerah itu sendiri, tentu agar pendidikan tidak mengasingkan anak dari tempatnya berasal. Seperti perumpamaan yang pernah disampaikan Pak Agus, “Masa sekolah di pesisir pantai diberi pelajaran tentang daerah pegunungan”.


Metode pembelajaran di SALAM adalah riset. Anak-anak melakukan riset di setiap kegiatan belajarnya dan bebas memilih topik yang ingin mereka dalami. Riset sederhana di sekitar lingkungan SALAM dengan laboratorium alam: sawah, angkringan, sungai, dll. Saya pernah belajar ini, dan bingung bagaimana caranya anak memilih sendiri topik yang ingin mereka pelajari 🤯


SALAM juga melibatkan peran orang tua, masyarakat, dan komunitas dalam proses pembelajaran anak. Elemen-elemen yang memang sudah seharusnya terlibat dalam proses pendidikan. Elemen-elemen ini juga yang sering luput terlibat dalam pendidikan formal saat ini.


Untuk teman-teman saya yang juga pernah bingung bersama tentang beberapa hal yang dulu pernah kita pelajari, ayo baca buku ini. Semua hal kusut yang kita bayangkan itu, dipraktikkan di SALAM 

secara konkrit dengan sederhana yang membuat kegiatan belajar jauh lebih bermakna. 


*Buku ini hanya salah satu dari beberapa serinya. 



14 Agustus 2022

Kenapa Bertahan di Hubungan yang Tidak Sehat?


Kenapa tetap bertahan dan melanjutkan hubungan yang sudah jelas menyakitkan dan merugikan? Pertanyaan yang membawa saya untuk membaca buku ini. Dulu saya sering men-judge (parah, jagan ditiru, ya) orang yang terperangkap di hubungan tidak sehat ((kok, bisa?)), biasanya saya baca dari thread di Twitter, juga pengalaman nyata di depan mata. Kemudian, terbesit lah pertanyaan di atas.


Kekerasan dalam hubungan seperti lingkaran setan, membuat korban seakan tidak bisa lepas meski sudah babak belur. Disampaikan oleh Dr. Lenore Walker, kekerasan dalam hubungan terjadi pada tiga fase: (1) ketegangan akibat konflik yang seakan tidak ada penyelesaiannya; (2) terjadinya kekerasan akibat fase sebelumnya; dan (3) kebingungan korban, fase honeymoon ketika pelaku kekerasan bersikap manis dan meminta maaf.


Fase honeymoon terbagi lagi menjadi beberapa fase, yaitu (a) penyesalan pelaku atas kekerasan yang dilakukannya; (b) pelaku berjanji tidak mengulangi kekerasan yang dilakukan dan mencari kambing hitam atas terjadinya peristiwa tersebut; dan (c) kedua pasangan sama-sama menyangkal tindak kekerasan yang telah terjadi. Siklus inilah yang membuat korban sulit melepaskan diri. 


By the way, bentuk kekerasan itu banyak, ya. Bukan hanya fisik saja. Ada bentuk kekerasan verbal, mental, seksual, ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan yang “tak tampak” ini juga tidak kalah bahayanya. 


Ada juga yang namanya sunk cost fallacy effect, kekeliruan berpikir seseorang yang memilih untuk bertahan karena sudah menginvestasikan banyak waktu, sumber daya, uang, bahkan seks [hm, jan lups, intimasi dulu baru seks], dan terlalu malas kelak harus memulai sesuatu yang baru lagi. Padahal, cinta tidak harus digenggam erat jika sudah ada pihak yang terluka.


Catatan: pola kekerasan itu sesuatu yang dikehendaki oleh pelaku, bukan karena gangguan psikologis. 


Pola asuh orang tua juga berpengaruh, menyebabkan seseorang menjadi pelaku atau korban yang terperangkap dalam hubungan yang tidak sehat. Pengalaman awal anak dengan orang tua berdampak pada kemampuan anak membangun hubungan sebagai orang dewasa. 


Salah satu pemicu tindak kekerasan paling basic, cemburu. Gaes, cemburu itu bukan cinta. Cemburu itu bentuk tidak adanya rasa percaya kepada pasangan. Juga, penyebab rentannya perempuan menjadi korban kekerasan salah satunya adalah pandangan masyarakat tentang perempuan yang ideal adalah yang nurut, di buku ini disebut dengan nice girl syndrome. Padahal, menjadi penurut tanpa adanya proses berpikir secara kritis sama saja menjerumuskan diri menjadi celaka. 


Agar tidak menjadi pelaku dan korban: kenali dirimu sendiri, jaga dirimu. 


Kebahagiaan bukan sesuatu yang diberikan. Temukan kebahagiaanmu sendiri. Memang, perlu ada luka yang harus dibasuh dan diobati dalam proses menemukannya (hlm. 161).

 

Menyadari dan Menerima Sebab-Akibat Luka Masa Kecil

Mengenal dan menyelami diri sendiri adalah proses panjang yang mewah dan melelahkan. Melelahkan ketika harus menggali sebab-akibat dan menjadi mewah ketika proses itu menghasilkan pemikiran dan sudut pandang yang baru. Di satu diskusi yang didominasi oleh perempuan, seseorang pernah berkata, “Jangan berhenti. Ketika kamu sadar dengan situasinya, itu sudah luar biasa sekali. Perubahan tidak datang di waktu yang cepat”.

Dari beberapa buku, buku ini menjadi titik perubahan pikiran saya. Saya kekeh dan keras kepala menyalahkan keadaan dan orang lain. Parahnya, mengharap orang lain untuk berubah agar saya bisa merasa lebih baik dalam menjalani hidup. Padahal, itu jelas kemustahilan, sesuatu yang tidak bisa dikontrol. 


Tenaga sudah habis untuk menyalahkan orang lain dan keadaan. Ternyata, ujung dari perjalanan ini adalah mengakui dan menerima semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa diubah, tapi kita bisa menentukan kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani. Bagaimana menerimanya? Dengan mengetahui pula sebab-sebab kenapa orang lain berlaku demikian. Pengalaman dan perlakuan yang kita terima dari kecil sangat berpengaruh dalam membentuk siapa dan bagaimana diri kita ketika dewasa. 


Oh, ya, tentang “kita bisa menentukan kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani”. Cara mencapainya adalah dengan meraih kemandirian finansial. Tidak untuk membalas dendam, ya (saya tidak lagi berbicara tentang siapa benar siapa salah. Toh, saya juga tolol. Kemampuan komunikasi saya buruk sekali. Kalau tidak malas, saya ingin menuliskan ini di kesempatan lain karena bahasannya berbeda). Tetapi, untuk menjadi manusia yang merdeka. Kalau kata orang-orang yang berani di Quora, tuh, “Pack your bag, and leave!” w a w ~


Berhasil menyadari tidak berarti sudah sampai titik. Tidak ada yang selesai karena manusia terus tumbuh dan berkembang. Seperti cinta, terus bergerak dan bertumbuh, (lho, kok ~).


Ini bukan pembahasan isi bukunya, hanya ingin berbagi perasaan setelah membaca.

Saya tampilkan daftar isi buku ini, barangkali ada hal yang membuatmu penasaran:





Buku ini cocok dibaca kamu yang tidak setuju dengan pola asuh yang kamu terima. Cocok untuk anak, cocok untuk orang tua. Bukan untuk saling menolak dan berperang, tapi untuk sama-sama belajar memahami dan memutus rantai “luka” itu.


28 Maret 2022

Kita Tidak Butuh yang Satu Frekuensi

 Memelihara Ingatan Lewat Lagu Hati-Hati di Jalan.


Ketika Hati-Hati di Jalan dirilis, saya baru turun dari Gunung Andong. Pukul 22.00 WIB, saya baru selesai mandi dan bisa istirahat. Sebelum tidur, saya menyempatkan diri melihat beberapa judul di album Manusia itu. Pilihan pertama jatuh pada Hati-Hati di Jalan. Saya memutarnya, lalu memejamkan mata. Niat awal yang hanya untuk pengantar tidur menjadi urung setelah mendengar lirik demi liriknya. Lagu itu saya replay berkali-kali sampai akhirnya saya terlelap. 

 

Bukan relasi asmara yang muncul di benak saat mendengar lagu itu. Saya justru teringat teman dekat yang sudah hampir 12 tahun lamanya kami berteman. Baru benar-benar akrab mungkin di tahun ke-5. Di tahun-tahun itu, kami sering berbicara tentang bagaimana cara kami berelasi dengan orang lain dan tentang kebingungan dengan karakter masing-masing. Di titik ini kami merasa bahwa kami memiliki kesamaan. Mungkin ini yang membuat kami bisa berteman baik.

 

Saya sebutkan beberapa hal saja, seingat saya: kami tidak suka hal yang menye-menye dan banyak berbasa-basi dengan orang lain. Sulit untuk dekat dan percaya dengan orang lain, sering memiliki asumsi tersendiri tentang orang lain. Pertanyaan yang sering muncul adalah ‘kenapa saya begini?’. Tahun-tahun di usia yang belum matang (sekarang juga belum sih, haha), pikiran hanya berpusat pada diri sendiri. Jelas, banyak kesamaan tentang apa yang kami pikirkan. 

 

Memasuki pertengahan masa kuliah. Meskipun beda kampus dan beda kota, kami masih sama-sama ada di Pulau Jawa. Masih bisa sering bertemu. Seiring bertambahnya usia, bertambah hal yang diketahui tentang kehidupan. Banyak pengalaman yang dilalui, pikiran pelan-pelan ikut berkembang. Pola pikir mulai berubah. Dulu hanya membahas tentang diri sendiri, sekarang obrolan sudah cukup beragam dan meluas. Kami juga pernah menyadari dan merefleksi hal ini, ternyata banyak sekali yang bisa dibicarakan selain tentang diri sendiri. 

 

Lalu, kenapa Hati-Hati di Jalan? Saya tidak akan membahas liriknya secara keseluruhan. Hanya beberapa potongan saja. Kok bisa, sepatah dua patah lirik dan irama Tulus itu membawa saya pada memori yang luas? Saya juga heran. Magis sekali.

 

Kita tidak asing dengan pernyataan, “mau cari teman yang satu frekuensi”, “enak kalau satu frekuensi bisa nyambung”. Saya pun dulu mengamini pernyataan ini. 

 

Namun,

“ku kira kita akan bersama

begitu banyak yang sama

latarmu dan latarku”

 

Hati-Hati di Jalan mematahkan pikiran saya tentang “berteman dengan orang yang satu frekuensi”. Tidak. Kita tidak butuh teman yang selalu satu frekuensi. Yang berlatar belakang sama pun belum tentu akan berujung di satu muara. Pernyataan ini saya tulis atas dasar realitas yang telah saya lalui dengan seorang teman. Merasakan proses kami sama-sama berkembang dan masing-masing memiliki perbedaan sudut pandang tentang banyak hal. Manusia tidak harus seragam agar bisa dijadikan teman.


Kami sama-sama suka makan, tetapi selera kami berbeda. Dia senang jajan yang manis, cake dan sejenisnya. Sementara saya senang makanan berat yang asin, pedas. Selera musik juga berbeda. Seingat saya, yang kami sama-sama (sangat) suka hanya Nosstress. Kadang, saya punya kehendak untuk berjalan terlalu jauh, manusia ini yang menarik dan menjadi pagar untuk saya (dalam artian yang positif). Pada hal-hal prinsip pun, kami berbeda.

 

Dari berbagai perbedaan itu, kamu tahu apa yang paling menyenangkan? Ketika kalimat, “people changes” terucap. Momen ini sering kami tertawakan bersama. Meskipun begitu, di titik ini saya merasa pikiran kami melebur. Hal lain yang ingin saya katakan adalah kami berhasil membangun relasi yang intim. Ada peran dan ruang-ruang kosong yang di sana kami bisa saling mengisinya untuk satu sama lain. Saya sebut satu peran yang cukup terlihat jelas. Di beberapa keadaan, peran saya lebih dominan untuk hal-hal terkait kekuatan fisik. Sementara, teman saya lebih dominan untuk memperkuat psikis. Sederhananya, saya bisa tetap waras sampai hari ini salah satunya karena ada manusia ini.


“kau melanjutkan perjalananmu

ku melanjutkan perjalananku”


Dekat dan akrab tidak melulu harus selalu bergandengan. Kita bisa tetap dekat dan akrab meski berjalan di jalan masing-masing. 


Terakhir. Kalau pun kamu memiliki kriteria untuk mengizinkan orang lain berteman atau membangun relasi denganmu, kriterianya hanya satu: manusia. Manusia yang memanusiakan manusia. Ini pernyataan lama yang sudah sering kita dengar. Tapi begitulah kenyataannya. Kita butuh bertemu orang dengan karakter demikian, satu saja sudah cukup. Kenapa? Menenangkan.



Note:

Ini ditulis tanpa persetujuan teman yang bersangkutan. Murni apa yang saya pikirkan. Kalau ada bagian yang kamu tidak setuju, silakan saja protes. Buat tulisanmu sendiri, xixi.

 

Salam.


***


Lirik utuh Hati-Hati di Jalan - Tulus 


Perjalanan membawamu

Bertemu denganku, ku bertemu kamu

Sepertimu yang kucari

Konon aku juga s'perti yang kaucari


Kukira kita asam dan garam

Dan kita bertemu di belanga

Kisah yang ternyata tak seindah itu


Kukira kita akan bersama

Begitu banyak yang sama

Latarmu dan latarku

Kukira takkan ada kendala

Kukira ini 'kan mudah

Kau, aku jadi kita


Kasih sayangmu membekas

Redam kini sudah pijar istimewa

Entah apa maksud dunia

Tentang ujung cerita, kita tak bersama


Semoga rindu ini menghilang

Konon katanya waktu sembuhkan

Akan adakah lagi yang sepertimu?


Kukira kita akan bersama

Begitu banyak yang sama

Latarmu dan latarku

Kukira takkan ada kendala

Kukira ini 'kan mudah

Kau, aku jadi kita


Kau melanjutkan perjalananmu

Ku melanjutkan perjalananku

Uh-uh, hu-uh-uh


Kukira kita akan bersama

Begitu banyak yang sama

Latarmu dan latarku


Kukira takkan ada kendala

Kukira ini 'kan mudah

Kau, aku jadi kita

Kukira kita akan bersama


Hati-hati di jalan

28 Januari 2022

Dunia dan Semesta Kali - Puthut EA

 


Pertama kali melihat Dunia Kali di Kedai JBS, 2018. Saat itu saya menjadi peserta di sebuah acara yang pembicaranya adalah penulis favorit saya, Dea Anugrah. Asumsi saya tentang buku ini adalah tentang anak kecil yang begitu cerewet dan dunianya, mengingatkan pada adik saya yang usianya hanya beberapa tahun di atas Kali. Namun, niat membelikannya buku ini saya urungkan. Uang saya tidak cukup karena sudah membeli buku lain. 17 Januari 2022 lalu, Mas Puthut membagikan kedua e-book ini secara gratis di https://www.puthutea.com/, saya langsung mengunduhnya.


Seperti yang disampaikan oleh penulis, cerita-cerita ini untuk mengabadikan proses tumbuh kembang Kali. Tidak jarang saya cengengesan sendiri saat membaca. Salah satu bagian yang membuat saya tertawa ngakak ketika Kali menyusul Bapaknya yang sedang salat Jumat di masjid. “Bapak, nasinya gak habis enggak apa-apa, ya. Tapi tempenya tak habisin”, ucap Kali yang memakai celana pendek, kaos, dan menggenggam tempe goreng. Bapaknya yang berposisi di tengah langsung pucat, wakakak


Saya juga menyerap ilmu parenting yang diterapkan penulis. Menjadi orang tua sekaligus teman. Tugas orang tua bukan sekadar menyekolahkan di tempat terbaik, memberikan makanan bergizi, dan mempersiapkan tabungan buat pendidikan di masa depan. Banyak yang lupa tugas penting lain, yaitu memberikan kenangan indah ketika mereka masih kecil.Hati saya ikut terenyuh mengetahui bagaimana orang tuanya mengapresiasi hal-hal kecil yang dicapai Kali. Ikut meleleh juga membaca beberapa cerita yang menunjukkan kelembutan hati Kali. 


Cerita-cerita ringan ini menghibur, sedikit menyayat. Dunia anak adalah dunia bermain, hal yang luput dipahami oleh banyak orang tua. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, buku ini mengingatkan pada adik saya yang  usianya hanya beberapa tahun di atas Kali. Saya kasihan kepada bocah itu. Meski, mungkin, ia tidak perlu dikasihani, hanya perlu ditemani bermain. Di masa tumbuh kembang dan usia emasnya, kami tidak tinggal bersama. Di bayangan saya, separuh dunia kanak-kanaknya mungkin sudah remuk. 


Jika saya pulang, banyak hal yang diceritakannya. Dari yang menyenangkan sampai yang tidak, lebih banyak yang tidak, sih. Sebagai orang yang dipercaya menjadi pendengar, harusnya saya bisa memberi respon yang menenangkan dan menjadi orang dewasa yang baik. Alih-alih demikian, emosi saya justru seringkali tiba-tiba naik. Ketika sudah tidak bersama, saya menyesali kegagalan menjadi sosok yang baik untuknya.


Pertanyaannya sudah berganti, bukan lagi kenapa tidak bisa pulang. “Kenapa kok, tidak mau pulang?”, ucapnya ketika saya tiba di rumah, setelah satu tahun tidak lebih. 


“Kenapa cepat sekali? Di sini saja dulu. Aku tidak ada teman bermain. Apa tidak kasihan?”, protesnya saat tau keberadaan saya hanya satu minggu. 


“Lha, temanmu di kampung ini kan banyak?”, tanya saya.


“Orang-orang sudah tidak mau main di luar. Semuanya sudah punya HP, cuma saya yang tidak punya”. Dada saya sedikit sesak mendengarnya. 


Sudah, ah. Kan, keterusan, malah menceritakan cerita saya.