28 Januari 2022

Dunia dan Semesta Kali - Puthut EA

 


Pertama kali melihat Dunia Kali di Kedai JBS, 2018. Saat itu saya menjadi peserta di sebuah acara yang pembicaranya adalah penulis favorit saya, Dea Anugrah. Asumsi saya tentang buku ini adalah tentang anak kecil yang begitu cerewet dan dunianya, mengingatkan pada adik saya yang usianya hanya beberapa tahun di atas Kali. Namun, niat membelikannya buku ini saya urungkan. Uang saya tidak cukup karena sudah membeli buku lain. 17 Januari 2022 lalu, Mas Puthut membagikan kedua e-book ini secara gratis di https://www.puthutea.com/, saya langsung mengunduhnya.


Seperti yang disampaikan oleh penulis, cerita-cerita ini untuk mengabadikan proses tumbuh kembang Kali. Tidak jarang saya cengengesan sendiri saat membaca. Salah satu bagian yang membuat saya tertawa ngakak ketika Kali menyusul Bapaknya yang sedang salat Jumat di masjid. “Bapak, nasinya gak habis enggak apa-apa, ya. Tapi tempenya tak habisin”, ucap Kali yang memakai celana pendek, kaos, dan menggenggam tempe goreng. Bapaknya yang berposisi di tengah langsung pucat, wakakak


Saya juga menyerap ilmu parenting yang diterapkan penulis. Menjadi orang tua sekaligus teman. Tugas orang tua bukan sekadar menyekolahkan di tempat terbaik, memberikan makanan bergizi, dan mempersiapkan tabungan buat pendidikan di masa depan. Banyak yang lupa tugas penting lain, yaitu memberikan kenangan indah ketika mereka masih kecil.Hati saya ikut terenyuh mengetahui bagaimana orang tuanya mengapresiasi hal-hal kecil yang dicapai Kali. Ikut meleleh juga membaca beberapa cerita yang menunjukkan kelembutan hati Kali. 


Cerita-cerita ringan ini menghibur, sedikit menyayat. Dunia anak adalah dunia bermain, hal yang luput dipahami oleh banyak orang tua. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, buku ini mengingatkan pada adik saya yang  usianya hanya beberapa tahun di atas Kali. Saya kasihan kepada bocah itu. Meski, mungkin, ia tidak perlu dikasihani, hanya perlu ditemani bermain. Di masa tumbuh kembang dan usia emasnya, kami tidak tinggal bersama. Di bayangan saya, separuh dunia kanak-kanaknya mungkin sudah remuk. 


Jika saya pulang, banyak hal yang diceritakannya. Dari yang menyenangkan sampai yang tidak, lebih banyak yang tidak, sih. Sebagai orang yang dipercaya menjadi pendengar, harusnya saya bisa memberi respon yang menenangkan dan menjadi orang dewasa yang baik. Alih-alih demikian, emosi saya justru seringkali tiba-tiba naik. Ketika sudah tidak bersama, saya menyesali kegagalan menjadi sosok yang baik untuknya.


Pertanyaannya sudah berganti, bukan lagi kenapa tidak bisa pulang. “Kenapa kok, tidak mau pulang?”, ucapnya ketika saya tiba di rumah, setelah satu tahun tidak lebih. 


“Kenapa cepat sekali? Di sini saja dulu. Aku tidak ada teman bermain. Apa tidak kasihan?”, protesnya saat tau keberadaan saya hanya satu minggu. 


“Lha, temanmu di kampung ini kan banyak?”, tanya saya.


“Orang-orang sudah tidak mau main di luar. Semuanya sudah punya HP, cuma saya yang tidak punya”. Dada saya sedikit sesak mendengarnya. 


Sudah, ah. Kan, keterusan, malah menceritakan cerita saya.

 

 


0 Comments: