Pulau Panjang (20/03/2020), sekitar
pukul 18.30 WIB untuk pertama kalinya kami menginjakkan kaki di Pulau Panjang. Setelah
unggah-ungguh, kami memutuskan untuk pisah dari rombongan Mas Miftah, pemilik perahu
yang memberikan kami tumpangan. Agar tidak merepotkan rombongan.
Belum lepas senyum sumringah dari
wajah. Salah satu emosi senang akan sebuah perjalanan yang tak
terencana. Dari arah warung, seorang laki-laki datang menghampiri. Setibanya
beliau di bawah cahaya redup yang tergantung di pohon pinus, barulah kami tau
bahwa usianya sudah cukup tua.
Berawal dari perbincangan singkat, akhirnya
kami pindah duduk di warung. Kemudian baru kami tau bahwa yang sedang berbincang
dengan kami adalah Ida Bagus Ketut Lasem. Dari warung kecil itu lantunan radio
tua dengan lagu lawas setia menemani bapak penjaga warung berusia paruh baya. Teriakkan
kinjeng tangis dari hutan pun terdengar padu dengan debur ombak yang tenang.
Ida Bagus Ketut Lasem merupakan seorang
seniman yang berasal dari Bali, tepatnya daerah Gianyar. Lima tahun beliau
habiskan untuk menempuh pendidikan seni di Belanda. Meskipun orang tuanya
menginginkan untuk sekolah hukum. Beliau juga salah satu orang yang membuat trofi
Piala Presiden.
Sebagaimana yang kita tau, Bali masih
sangat kental dengan sistem kasta. Kasta tertinggi di Bali adalah Brahmana yang
terdiri dari Ida Bagus, Anak Agung, dan Tjokorda. Selanjutnya diikuti Kesatria,
Waisya, dan Sudra.
Laki-laki kelahiran 1931—berusia 89
tahun, ini merupakan anak dari Ida Bagus Mantra, mantan gubernur Bali periode
1978—1988. Berdasarkan penuturannya, beliau juga merupakan keturunan Prabu Udayana ke-17.
Beliau sudah berjalan selama delapan
tahun. Persinggahan terakhirnya Kota Jepara. Kedatangannya ke Pulau Panjang
adalah untuk Ta'ziah ke makam Habib Syeikh Abu Bakar. Hal ini dilakukan atas
perintah Habib Luthfi.
Beliau menikah
di usia 45 tahun dan istrinya berusia 23 tahun. Dari pernikahannya, mereka
dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Istri beliau yang kini berusia 55 tahun, menjabat
jadi kepala sekolah di salah satu SMA favorit di Bali, SMA 1 Bali.
Oh, iya. Salah
satu budaya di Bali, ternyata anak bungsu laki-laki jodohnya harus dicarikan oleh
orang tua.
Kami juga bertanya
tentang salah satu budaya yang menjadi ciri khas Bali, Nyepi. Kata beliau,
orang Hindu di Bali Nyepi selama satu hari satu malam. Tanpa listrik, maupun api. Segala
persiapan seperti makanan dan lainnya, tentu sudah disiapkan satu hari sebelumnya.
Jika ketahuan melanggar, bisa dikenakan denda sebesar 50 juta.
Pertanyaan
kami, “Lalu bagaimana dengan turis dan orang yang beragama non-Hindu?”
Mereka yang
mengikuti, kata beliau. Orang Eropa kebanyakan justru merasa senang. Merasakan nikmatnya
Nyepi di Bali. Merasakan hening kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi.
"Damai adalah indah. Paling indah
adalah damai" ucap Beliau.
Nilai toleransi
di Bali sangat baik. Semuanya saling menjaga nama baik. Ketika Nyepi, orang
Islam yang menjaga. Begitu pula sebaliknya. Ketika bulan Ramadan, orang non-Islam yang menjaga.
Perbincangan kami juga sampai pada masa muda beliau. Ketika
Zaman Penjajahan Jepang, beliau berusia 12 tahun. Peristiwa 1965 yang terekam di memorinya meninggalkan ingatan yang menyakitkan. Pasca 1965, Bali pernah diserang Madura. Oleh
Banyuwangi, Bali ingin diislamkan. Lalu tanggapan orang Bali, "Kalau kami
diislamkan, menangislah kamu. Tapi bukan air mata putih, air mata darah. Sampai
titik penghabisan".
“Semua
agama itu baik. Tinggal faktor bagaimana manusia yang menjalankannya” ucap
Beliau.
Sebagai kawula
muda yang ketika itu sedang merasa kehilangan arah, tentunya saya tidak lupa
meminta wejangan kepada Beliau. Tentang apa yang sebaiknya jangan dilakukan di
masa muda, agar tidak menyesal ketika sudah tua kelak. Pesan dari
beliau untuk kami.
- Jaga nama baik diri sendiri. Jangan sampai
ternodai. Kalau kamu jatuh, kamu sendiri yang rugi. Jadilah manusia yang mulia.
- Taat pada agama. Ikuti jejak yang terbaik. Agama apaun terserah. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan.
- Sopanlah kepada sesama, terutama orang tua.
Jangan pernah menghina sesama. Kalian mahasiswa, jangan sampai memandang rendah
orang lain.
InsyaAllah hidup tidak akan menyesal.
Yang
paling asik dari sebuah perjalanan adalah ketika meminta doa dari orang-orang
yang ditemui selama perjalanan.
"Yang penting sampean lulus.
Aamiin"
"Sampean bisa ketemu sama saya
itu syukur sekali. Besok saja kita foto".
Sayang
sekali, esoknya kami malah tidak sempat menemui beliau lagi. Agak
oleng karena semalaman tidak bisa tidur. Pertama, karena menghabiskan malam dengan
rombongan yang baru berkenalan malam itu juga, kawan-kawan dari Balai
Perikanan. Kedua, karena rombongan Mas Andi dan Haydar (sama, baru kenal malam itu juga) nyalain musik
guede-guede pas Subuh, yang mana jam segitu kami baru mau tidur. Bagaimanapun, bertemu mereka
semua adalah hal menyenangkan, akan kuceritakan nanti.
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Boleh diluruskan apabila terdapat informasi yang keliru. Apa yang tertulis di sini semuanya berdasarkan pengalaman dan hasil perbincangan.