Lebih dari pukul 14.10WIB kami berangkat menuju Waduk Sermo. Agendanya adalah "numpang tidur" selama satu malam di sana. Sebetulnya kami janji berangkat pukul 13.00WIB, seperti biasa, bukan rencana namanya kalau tidak ngaret. Mengunjungi tempat-tempat yang identik dengan air selalu menyenangkan. Sayang, di sana tidak diizinkan untuk mandi, hehe.
Sebelumnya, aku sedang mengajak diri untuk mulai membaca buku-buku self improvement. Cukup selaras dengan kebiasaan yang berusaha kuterapkan, penulis buku itu bilang, orang yang terlambat bangun pagi kehilangan salah satu pesta terbesar alam, yang berlangsung berulang-ulang setiap hari dalam visi stereo penuh--matahari terbit (Babauta, 2019: 67). Aku sepakat dengan itu.
Sebelum sampai di hari Sabtu, 4 September 2020, beberapa hal yang ingin dilakukan sudah terbayang dalam ekspektasi. Aku akan menghabiskan waktu dengan menikmati langit malam sampai ia berganti dengan warna jingga yang merekah perlahan-lahan. Kehilangan waktu tidur satu malam tidak ada aapa-apanya jika dibandingkan dengan menyaksikan langsung perpindahan malam menuju pagi, dan hal ini tentunya tidak dapat dilakukan setiap hari. Sayang kalau pergi hanya untuk sekadar menumpang tidur, pikirku.
Mengunjungi tempat wisata pada hari libur adalah sebuah kesalahan besar. Alih-alih ingin menikmati alam, yang ada malah kerumunan manusia. Seperti kebiasaan pada umumnya, kegiatan kemah pasti diisi dengan kegiatan makan mi instan dan nyanyi-nyanyi bersama--dengan suara sumbang, diiringi dengan satu orang yang bermain gitar. Malam semakin larut, setelah sedikit membersihkan badan, kami mulai bersantai sambil berbincang ringan. Udara yang dingin selalu menyebabkan buang air kecil yang terus-menerus. Aku berangkat sendirian menuju WC umum yang hanya ada satu, salah satu fasilitas yang disediakan di sana. Tiba di WC, seorang laki-laki bertubuh agak gempal menegurku, "Mbak mau buang air kecil? Duluan saja Mbak".
"Mas saja yang datang duluan," sahutku.
"Saya mau buang air besar," timpalnya lagi.
"Wah, jangan. Kalau gitu saya dulu, deh." akhirnya aku mendahuluinya. Sebab, masuk ke dalam WC yang baru selesai digunakan untuk buang air besar juga merupakan salah satu kesalahan terbesar.
Aku tau, didekat kunci WC itu terdapat celah yang jika kamu melihat orang di luar itu cukup jelas. Kepalaku mulai ramai. Maka bukan tidak mungkin orang dari luar dapat melihat aktivitasmu di dalam WC. Apalagi klosetnya tepat menghadap pintu. Tanpa membuka celana, aku sengaja jongkok dikloset, seperti ingin buang air kecil. Aku memberanikan diri untuk melihat keluar melalui celah di pintu. Tau apa yang ditangkap oleh mataku? Mata mas itu yang juga sedang menilik kearah yang sama denganku, celah pintu. Lututku agak bergetar, memang rasanya tidak separah saat aku dihadang oleh ekshibisionisme satu tahun lalu. Singkat saja, cerita bagian ini cukup sampai di sini. Tidak ada adegan diriku yang judes ini ngoceh-ngoceh. Adanya takut dan bingung.
Untuk Mas yang bertubuh agak gempal dan memakai kaos hitam, fuck you. Semoga jenis manusia seperti ini lekas meninggal dan musnah populasinya di muka bumi
***
Sayangnya, lampu-lampu di tepi jalan waduk itu terlalu terang, sehingga mengalahkan cahaya malam yang sudah disediakan oleh langit. Aku sudah kehilangan satu pesta alam yang indah. Sudahlah, akhirnya aku memutuskan untuk menikmatinya, menunggu warna jingga yang merekah dari langit bagian timur. Untungnya ada teman untuk diajak berbincang, maka wanra langit yang hitam pekat itu tidak merangsang kantuk berat.
Berbincang-bincang adalah hal yang asik. Dari proses dan pasca perbincangan berlangsung, otak seperti meresap dan mengolah itu semua tidak sekadar untuk mengenal seseorang dengan tujuan tertentu. Tidak dan itu sama sekali bukan sebuah tujuan. Apapun yang dipetik dari sebuah obrolan, hasilnya dapat digunakan ketika bertemu dengan siapapun. Semakin hari jadi semakin sadar, bahwa aku tidak bisa meminta semua orang untuk memandang dunia dengan kacamataku. Semua orang memiliki kacamatanya masing-masing. Sebagai manusia, kita hanya perlu menghargai itu. Memandang dunia melalui berbagai prespektif ternyata menyenangkan. Cara ini juga cukup mampu mengikis rasa keangkuhan dalam diri, terutama kangkuhan diri soal pengetahuan. Aku cukup menyadari, ternyata aku ini bodoh, sangat banyak hal yang belum ku ketahui.
Meski belum menemukan siapa dan bagaimana diriku yang sesungguhnya dan bingung bagaimana memposisikan diri sendiri dilingkungan sosial, sampai detik ini aku masih belajar. Sedang belajar bagaimana menjadi manusia yang lebih baik, kepada sesama, terutama orang-orang yang ada disekitar.
***
Kembali lagi perihal pesta alam. Setelah subuh, ternyata keadaan langit dipenuhi oleh awan. Dari tempat kami mendirikan tenda, penampakannya seperti langit mendung.
Ada sedikit rasa kesal. Sedikit sekali. Keindahan ternyata tidak berdiri sendiri. Suasana langit memang tidak seperti yang kuharapkan. Tapi alam saling membantu dalam merayakan pestanya. Menghirup udara pagi yang sejuk dan memandang bentangan air yang luas, cukup untuk menenangkan diri. Meski akhirnya pagi itu aku memutuskan untuk masuk ke dalam tenda. Tidak ada langit berwarna jingga, mungkin ini kesempatan untuk terlelap sebentar untuk menjaga kewarasan. Dari dalam tenda aku masih memandang dan menikamti suasana pagi, sebelum benar-benar terlelap kurang lebih selama tiga puluh menit.
***
Sekitar pukul 6.45WIB, aku terbangun oleh suara teman-temanku yang sedang bercanda dan berbincang di luar tenda. Juga oleh cahaya matahari yang mulai cerah. Sedikit menggeliat, kemudian aku bangun dan duduk sesaat untuk mengumpulkan kesadaran diri. Aku mengambil sikat gigi dan sebotol air minum lalu membawanya keluar. Salah satu cara terbaikku untuk memulai hari adalah dengan menggosok gigi.
Tidak ada perjalanan dan kepergian yang sia-sia. Aku menikmati semuanya. Sangat menikmati, alam. Aku ingin memberi sedikit penggalan lirik milik salah satu grub musik indie kecintaanku yang berasal dari Bali, Nosstres.
Tenang-tenang udara
Nyaman-nyaman dirasakan
Setiap jalan ini senang kulewati
Setiap hidup ini tenang kujalani
Nyaman-nyaman dirasakan
Setiap jalan ini senang kulewati
Setiap hidup ini tenang kujalani
Karena alam adalah temanku
Ia beri semua untukku
Ia beri semua untukku
Kita lupa 'tuk menyayanginya
Kita hanya ingat menikmatinya
Kita lupa 'tuk memeliharanya
Dan kita lupa ia sahabat kita
Kita hanya ingat menikmatinya
Kita lupa 'tuk memeliharanya
Dan kita lupa ia sahabat kita
Aku, masih belajar untuk dapat hidup selaras dengan alam.
Terima kasih sudah membaca sampai habis. Hiduplah dengan bahagia karena kita semua berharga.
Salam.
0 Comments:
Posting Komentar