Selamat Membaca ^^
(Sila meninggalkan saran dan kritik di kolom komentar)
Buluh Sedarah
Konon
katanya pulau kami ini dijaga oleh naga yang sedang tidur panjang, mengelilingi
pulau ini seperti cincin. Di bagian Selatan kami hidup bersama orang-orang dari
suku Hakka yang pindah dari Guangdong. Kedatangan mereka lebih awal dari
orang-orang ras kami, untuk merasakan hidup lebih baik. sejak tiga abad silam
kami bersama ras mata sipit itu dengan sepenuh hati memajukan pulau ini.
Kau
tau, sekarang sedang berselimut duka karena kabar kepala kampung kami yang tiba-tiba
mati. Bulak bagai muntah tiada henti keluar dari sungut orang-orang suku Lom,
menciptakan berbagai cerita tentang mayat kepala kampung yang dibawa pulang
oleh sekumpulan krasalong. Bukan hanya itu, kepala suku dipulangkan tidak
lengkap dengan hatinya. Apakah ada seseorang yang memberi perintah kepada mereka? Tapi bukannya mereka itu tuli?
“Jang,
Bujang. Pergilah antar kepala suku ke kubor. Jangan lupa malam datang takziah
ke rumah duka” sore itu Mak mengingatkan Bujang yang sibuk menyanyam dulang
permintaan Miak. Sudah pasti ia tidak akan pergi sebelum menyelesaikan tugas
dari Miak dan tidak mungkin juga mengingkari permintaan Mak. Semua masyarakat
lokal sangat menjunjung tinggi adat kebudayaan nenek moyang mereka. Tidak ada
satupun ritual peninggalan nenek moyang yang mereka tinggalkan.
Sudah
terhitung satu minggu sejak kematian tragis kepala kampung, kampung ini jadi
sepi dari aktivitas malam. Semua penduduk percaya bahwa arwah kepala kampung
masih berkeliaran disekitar, kecuali Miak. Heran juga ia dengan Mak yang setiap
hari sembahyang menyembah Tuhan tapi masih takut dengan setan. Ia sendiri mana
sudi percaya pada hal tidak masuk akal seperti itu. Menurutnya, setelah
menempuh kematian maka orang-orang itu akan hidup jauh lebih merdeka di alam
pikirnya masing-masing.
***
“Mak,
buatkanlah acara kecil-kecilan untuk merayakan pernikahanku dan Bujang. Tidak
usah membuat perayaan yang berlebihan karena kita tidak punya banyak uang,”
dandang berisi sayur darat yang baru matang terhempas dari tangan Mak.
"Bagaimana bisa kau meminta pernikahan dengan Adik kandungmu sendiri.
Haram jadah! Semakin hari kudaimkan kau semakin menjadi! Menciderai leluhur!” suara
Mak bergetar memenuhi bubung atap. Hal yang paling ditakutkan oleh Mak terjadi.
Mana ada satu keyakinanpun yang memperizinkan saudara kandung menjalin
pernikahan. “Kacau… kacau! Ini akan menjadi awal dari kehancurkan kampung kita
semua!” keluh mak dengan dada yang sesak, entah dari mana Miak mendapat
perangai demikian. Pahit, hitam sudah rasanya hati Mak mendapati anak
perempuannya meminta keputusan demikian.
“Aku
tidak ingin menjadi perawan tua dan tidak mau menikah dengan pemuda kampung ini.
Semua orang di sini sama saja, suka menelan mentah sebuah tahayul. Hanya Bujang
yang sesekali sejalan dengan apa yang kupikirkan” usahanya tak henti untuk
meyakinkan Mak. Tanpa perlu menunggu hari berlalu, kabar permintaan Miak untuk
menikahi Bujang telah tersebar ke penjuru kampung. Siapa gerangan yang membawa
berita ini? Apakah ulah krasalong lagi? Tidak masuk akal burung tuli mampu
menyebarkan pesan aib kepada seluruh penjuru kampung.
“Pergi!”
“Usir!”
“Pendosa!”
“Pelanggar nilai-nilai luhur!”
“Usir
mereka dari kampung ini!” teriakan penduduk kampung sebelum magrib menjelang.
Mak menangis sampai tak bersuara akibat ulah kedua anaknya. “Dengan siapa lagi
aku hidup jika tidak dengan kalian” pasrah Mak dalam sakit hatinya.
Bukan
lagi urusan tentang siapa benar dan siapa salah, tapi tentang keinginan siapa
yang paling besar. Miak keluar bersama Bujang, dengan kepala tegak ia mengucap
lantang pada seluruh penduduk yang mengusirnya, “Manusia hati kalian hitam! Kita
hidup rukun berhimpun tiada salah sikap dan patah sekalipun dariku, hanya
perihal kawin kalian menempatkanku seperti orang paling berdosa. Apa kalian
para penyembah batu lebih mulia derajatnya! Hiduplah kalian semua dengan
pertanyaan-pertanyaan yang busuk mengakar dalam pikiran. Tidak ada rembug dalam
pikrian maka tiada merdeka kalian selama-lamaya!”
***
Kau
tahu? Setelah kepergian Miak dan Bujang, kehidupan di kampung berjalan tidak serukun
sedia kala. Belakangan banyak warga yang melapor ayam peliharaan mereka mati
secara tragis bahkan ada yang menghilang tanpa bekas, bukan dalam jumlah yang
sedikit. Simpang siur kabar burung datang lagi bahwa pelaku dibalik mati dan
hilangnya hewan ternak adalah perbuatan orang-orang suku Lom. Mereka menganggap
orang-orang itu hidupnya mulai terancam karena alam tidak mampu lagi
menyediakan sumber kehidupan. Kurang ajar sekali memiliki anggapan demikian
padahal ku tanyakan padamu, siapa sesungguhnya yang mengkhianati alam!
“Mati…
Mati… Dewi, anak perempuanku, mati” datang berita kematian.
“Mati…
Mati… Anakku, Adi, mati” datang lagi berita kematian.
“Mati…
Mati… Ibuku, mati” datang terus berita kematian. Kini sedekat itu ajal dengan
penduduk kampung. Hal ini semakin membuat seluruh penduduk yakin bahwasannya
dua pasang saudara itu benar-benar menjadi penyebab kesialan bertubi pada
kampung ini.
Orang-orang
itu mati karena berjalan mengikuti angin arah Barat. Apa yang sesungguhnya
membawa mereka berjalan ke arah sana. Apakah itu akses pintas neraka yang
diciptakan tuhan untuk bumi?
Aku
di sini memang hidup dengan pikiran yang telah mati. Aku menelan sumpah Miak
ketika ia bernajak pergi. Kuikuti penduduk yang berjalan ke arah Barat pulau
ini. Lagi-lagi kabar dari krasalong. Burung tuli yang selalu membawa kabar
tanpa kejelasan kebenaran. Seorang penduduk merasa menerima perintah dari
mimpinya yang berupa seruan untuk pergi menyusuri arah Barat, di sana banyak
harta kekayaan yang akan membawa kampung ini keluar dari kesengsaraan.
Dalam
di tengah hutan Barat pulau, aku lihat, itu dia! Miak pemberi sumpah. Ia
bersetubuh dengan buluh dan Bujang mengkiat semua sumpah serta serapahnya. Dada
Miak bersimbah darah karena bulu halus buluh yang tajam. “kau tau Bujang, bair buluh
ini menjadi penembus bumi yang mengakarkan ideologi. Biar kumakan setiap hari
hati manusia untuk menyatukan kebusukan dalam darah dagingku. Biar turut
mengakar pada alam. Biar orang-orang yang datang mati dibunuh oleh rasa
penasarannya sendiri! Atas segala sumpahku, tanah ini adalah kampung Senang
Hati, lalu biarkan darah kita tertanam bersama akar buluh, biar kita menjadi
penjanga tanah ini.”
Alam
lebih menerimanya. Pesan terakhir yang Miak ucapkan padaku, “Terima kasih atas
segala tugas dan pengabdian darimu” usai sudah. Sekarang, biarkan aku pergi
terbang mencari kabar-kabar berita baru. Aku memang tuli, tapi hatiku belum
mati. Dan kau, tanggung jawabmu meneruskan cerita ini kepada seluruh manusia
dipenjuru bumi!
Note: Alhamdulillah cerpen ini menjadi jaura ketiga pada lomba cipta cerpen Bulan Bahasa dan Sastra tingkat Universitas yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2019.
0 Comments:
Posting Komentar