Membicarakan gerakan feminis atau perihal
seputar perempuan merupakan suatu pembahasan yang menarik. Menurut Kamla Bahsin
dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan keluarga
serta tindakan sadar untuk mengubah keadaan tersebut. Hal ini memang tidak ada
habisnya diperbicangkan, karena secara historis posisi perempuan seringnya
dirugikan. Dulu perempuan tidak memperoleh haknya dengan sesuai. Seperti
kedudukan sebagaimana yang sewajarnya diberikan sesuai dengan tugas dan
fungsinya yang besar dalam kehidupan.
Menurut prediksi beberapa ilmuan, penderitaan
perempauan sudah mulai sejak 200 tahun Sebelum Masehi. Perempuan di tempatkan
pada derajat yang sangat rendah dan hidup di bawah keganasan laki-laki. Bahkan
tidak ada batasan bagi suami dalam memperlakukan istrinya. Sebagian Yahudi
membolehkan seorang bapak untuk menjual anak perempuannya. Di Jazirah Arab,
kelahiran anak perempuan adalah sesuatu yang memalukan bahkan dianggap sebagai
kutukan. Sementara di Mesir dan Persia, perempuan dianggap sebagai alat pemuas
nafsu laki-laki dan diperlakukan dengan sadis.
Novel Love In The Kingdom Of Oil menggambarkan
keterkaitan antara perempuan dengan sejarah Mesir pra-Islam. Pada masa ini
perempuan di posisikan sebagai imperior yang harus selalu tunduk atas perintah
laki-laki, sementara laki-laki bertindak sebagai superior yang bebas
memerlakukan perempuan sesuai kehendak mereka. Cerita pada novel ini juga memberikan
gambaran mengenai empat teori feminis yang dibagi oleh Rosmarie Tong.
Feminisme liberal, latar belakang kemunculannya
adalah perlakuan yang menempatkan perempuan bergantung di bawah laki-laki dalam
bidang ekonomi serta kekangan bagi perempuan untuk bekerja dan menaikan derajat
dalam bidanng ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Penyamarataan hak dalam
beberapa bidang tersebut yang diperjuangkan oleh feminisme liberal.
“Ya.
Biasanya seorang perempuan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah
itu tidak waras.” (Hlm. 8)
“Seorang perempuan muda menceburkan diri ke
dalam pekerjaan yang tidak ada ujung pangkalnya seperti mengumpulkan patung.
Bukankah itu gejala pemyakit atau bahkan perbuatan yang tidak wajar?” (Hlm.8)
Pada hari
berikutnya keluar titah raja yang melarang perempuan meninggalkan rumah dan,
jika ada perempuan meninggalkan rumah, terlarang memberikan tempat berteduh
kepadanya atau menyembunyikannya. (Hlm. 11)
Kepala departemen
memandangnya dengan mata terbelalak, “Bagian ini hanya menerima laki-laki.
Pekerjaan yang kami lakukan, maksudku, menggali tanah, tidak cocok untukmu”. (Hlm. 35)
“Setiap
perempuan yang tertangkap dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan
dihukum.” (Hlm. 81-82)
“Apa
katamu,’Politik’?Apa kau tak tahu terlarang bagi kaum perempuan menceburkan
diri dalam politik?” (Hlm. 179)
Pada halaman awal digambarkan secara nyata bahwa
perempuan yang bekerja dianggap suatu hal yang tabu dan tidak wajar. Nawal menyampaikan
satir bahwa pada zaman ini perempuan diposisikan di bawah laki-laki dalam segala
aspek kehidupan. Penguasa ikut serta turun tangan dalam mengambil langkah
terhadap perempuan yang bekerja di luar
rumah. Perempuan dianggap lemah dan tidak mampu melakukan pekerjaan yang
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya bekerja untuk memuaskan nafsu dan
melayani laki-laki, seperti pembantu rumah tangga yang tidak dibayar.
Ketakutan
besar juga muncul ketika perempuan mulai memiliki pendidikan. Perempuan yang mulai
membaca, menulis dan memiliki banyak pengetahuan akan dikecam karena dianggap
sebagai tekanan besar. Karena itu membaca dilakukan secara sembunyi-sembunyi
saat suaminya tertidur pulas. Dengan ilmu pengetahuan, dapat membuat perempuan
sadar dan memberontak atas ketidakadilan yang selama ini terima. Maka adanya
pergerakan yang menuntut kesamarataan antara perempuan dan laki-laki dalam
bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya untuk menghapus anggapan
yang menekan posisi perempuan dari dalam aspek kehidupan.
Feminisme radikal, menganggap bahwa perempuan
ada pada penindasan paling bawah. Disebut radikal karena anggapan bahwa
kemampuan reproduksi pada perempaun adalah kutukan. Revolusi terhadap kelas ini
berarti revolusi terhadap seks. Kaum ini memperjuangkan anti pornografi yang
dianggap sebagai simbol penindasan laki-laki terhadap perempuan.
“Mengapa
kau tidak menutup wajahmu dengan cadar? Apakah kau tidak punya malu?” (Hlm.
24)
Perempuan harus menunggu suaminya hilang
selama tujuh tahun, ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Janin tetap
hidup dalam rahimnya selama tujuh tahun, dan janin itu tetap milik lelaki yang
hilang itu sampai ia kembali. Perempuan tidak lebih dari wadah. Tidak ada
undang-undang tentang perempuan yang hilang. Seorang perempuan tidak harus
hilang supaya suaminya dapat kawin lagi dengan perempuan lain. (Hlm. 107)
Masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan hanya
sebagai objek seksual. Laki-laki bebas berganti pasangan dalam berhubungan
seksual, sementara perempuan posisinya tetap berada di bawah kendali laki-laki.
Bahkan sama sekali tidak memiliki hak atas tubuhnya. Saat ini banyak terjadi
kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan. Anehnya sesudah menjadi korban,
perempuan kembali disalahkan. Alasan yang sering digunakan ialah kesalahan
perempuan yang tidak menutup aurat. Padahal faktanya yang sudah berpakaian
sopan juga kerap menedapat tindakan pelecehan seksual. Harus dipahami bahwa
yang salah bukan pakaian yang dikenakan, tapi pikiran yang harus diluruskan.
Bagaimanapun setiap orang memiliki hak atas tubuhnya masing-masing.
Feminisme marxist, meyakini bahwa keadaan
sosial ditentukan secara sadar. Sehingga secara sadar dapat diubah. Secara politik
perempuan memiliki kekuasaan dalam menetukan kehidupan, tetapi terampas oleh
budaya patriarki.
Lelaki
itu memaksa perempuan itu berlutut seperti seekor unta. Lelaki itu memilin
selembar kain bekas, kemudian dijadikannya bantalan bulat dan diletakannya di
atas kepala perempuan itu. Kemudian ia mengangkap tempayam itu dengan kedua
tangannya dan meletakkannya di atas kepala perempuan itu. Leher perempuan itu
bengkok karena menahan beban itu. (Hlm. 48)
Perusahaan. Apa itu perusahaan? Siapa pemilik
perusahaan ini? Berapa mereka membayar setiap hari untuk tempayam-tempayam ini?
Apakah lelaki mendapat upah? Sejak perempuan itu datang, perempuan itu tidak
mendapat apa-apa. Ia tidak pernah memegang uang. (Hlm. 71)
Asumsinya ialah sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Penguasa memiliki kemampuan
untuk menjaga kesejahteraan, namun nyatanya penguasa yang bersifat kapitalis
menggunakan perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja.
Feminis psikoanalitik, berangkat dari
pernyataan Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang
tidak lengkap. Keadaan ini membuat perempuan iri karena tidak memiliki penis
seperti laki-laki, bahkan hal ini disebut sebagai suatu penyakit. Menurut
analisis mengatakan bahwa, kebutuhan dasar setiap manusia adalah seksualitas.
Maka perempuan dianggap tidak memiliki sesuatu untuk dimainkan, sebagaimana
penis yang dimiliki oleh laki-laki.
“Sebagai
ganti keinginannya yang tidak terpuaskan, perempuan itu mendapat nikmat dari
menusuk-nusukkan pahat ke dalam tanah seolah-olah pahat itu penis laki-laki.” (Hlm.
8)
“Sejak kecil, perempuan mencari penis tetapi
sia-sia. Ketika sudah putus asa karena tidak berhasil menemukannya, keinginan
ini berubah menjadi keinginan yang lain.” (Hlm. 9)
Feminis psikoanalitik menolak teori Freud.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanyalah bahwa perempuan haid,
mengandung, melahirkan, dan menyusui, selebihnya tidak ada yang membedakan.
0 Comments:
Posting Komentar