10 Maret 2019

TEORI FEMINIS ROSMARIE TONG DALAM NOVEL LOVE IN THE KINGDOM OF OIL KARYA NAWAL EL-SAADAWI

Membicarakan gerakan feminis atau perihal seputar perempuan merupakan suatu pembahasan yang menarik. Menurut Kamla Bahsin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan keluarga serta tindakan sadar untuk mengubah keadaan tersebut. Hal ini memang tidak ada habisnya diperbicangkan, karena secara historis posisi perempuan seringnya dirugikan. Dulu perempuan tidak memperoleh haknya dengan sesuai. Seperti kedudukan sebagaimana yang sewajarnya diberikan sesuai dengan tugas dan fungsinya yang besar dalam kehidupan.

Menurut prediksi beberapa ilmuan, penderitaan perempauan sudah mulai sejak 200 tahun Sebelum Masehi. Perempuan di tempatkan pada derajat yang sangat rendah dan hidup di bawah keganasan laki-laki. Bahkan tidak ada batasan bagi suami dalam memperlakukan istrinya. Sebagian Yahudi membolehkan seorang bapak untuk menjual anak perempuannya. Di Jazirah Arab, kelahiran anak perempuan adalah sesuatu yang memalukan bahkan dianggap sebagai kutukan. Sementara di Mesir dan Persia, perempuan dianggap sebagai alat pemuas nafsu laki-laki dan diperlakukan dengan sadis.

Novel Love In The Kingdom Of Oil menggambarkan keterkaitan antara perempuan dengan sejarah Mesir pra-Islam. Pada masa ini perempuan di posisikan sebagai imperior yang harus selalu tunduk atas perintah laki-laki, sementara laki-laki bertindak sebagai superior yang bebas memerlakukan perempuan sesuai kehendak mereka. Cerita pada novel ini juga memberikan gambaran mengenai empat teori feminis yang dibagi oleh Rosmarie Tong.

Feminisme liberal, latar belakang kemunculannya adalah perlakuan yang menempatkan perempuan bergantung di bawah laki-laki dalam bidang ekonomi serta kekangan bagi perempuan untuk bekerja dan menaikan derajat dalam bidanng ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Penyamarataan hak dalam beberapa bidang tersebut yang diperjuangkan oleh feminisme liberal.

“Ya. Biasanya seorang perempuan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah itu tidak waras.” (Hlm. 8)

 “Seorang perempuan muda menceburkan diri ke dalam pekerjaan yang tidak ada ujung pangkalnya seperti mengumpulkan patung. Bukankah itu gejala pemyakit atau bahkan perbuatan yang tidak wajar?” (Hlm.8)

Pada hari berikutnya keluar titah raja yang melarang perempuan meninggalkan rumah dan, jika ada perempuan meninggalkan rumah, terlarang memberikan tempat berteduh kepadanya atau menyembunyikannya. (Hlm. 11)

Kepala departemen memandangnya dengan mata terbelalak, “Bagian ini hanya menerima laki-laki. Pekerjaan yang kami lakukan, maksudku, menggali tanah, tidak cocok untukmu”. (Hlm. 35)

“Setiap perempuan yang tertangkap dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan dihukum.” (Hlm. 81-82)

“Apa katamu,’Politik’?Apa kau tak tahu terlarang bagi kaum perempuan menceburkan diri dalam politik?” (Hlm. 179)

Pada halaman awal digambarkan secara nyata bahwa perempuan yang bekerja dianggap suatu hal yang tabu dan tidak wajar. Nawal menyampaikan satir bahwa pada zaman ini perempuan diposisikan di bawah laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Penguasa ikut serta turun tangan dalam mengambil langkah terhadap perempuan  yang bekerja di luar rumah. Perempuan dianggap lemah dan tidak mampu melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya bekerja untuk memuaskan nafsu dan melayani laki-laki, seperti pembantu rumah tangga yang tidak dibayar.

Ketakutan besar juga muncul ketika perempuan mulai memiliki pendidikan. Perempuan yang mulai membaca, menulis dan memiliki banyak pengetahuan akan dikecam karena dianggap sebagai tekanan besar. Karena itu membaca dilakukan secara sembunyi-sembunyi saat suaminya tertidur pulas. Dengan ilmu pengetahuan, dapat membuat perempuan sadar dan memberontak atas ketidakadilan yang selama ini terima. Maka adanya pergerakan yang menuntut kesamarataan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya untuk menghapus anggapan yang menekan posisi perempuan dari dalam aspek kehidupan.

Feminisme radikal, menganggap bahwa perempuan ada pada penindasan paling bawah. Disebut radikal karena anggapan bahwa kemampuan reproduksi pada perempaun adalah kutukan. Revolusi terhadap kelas ini berarti revolusi terhadap seks. Kaum ini memperjuangkan anti pornografi yang dianggap sebagai simbol penindasan laki-laki terhadap perempuan.
“Mengapa kau tidak menutup wajahmu dengan cadar? Apakah kau tidak punya malu?” (Hlm. 24)
Perempuan harus menunggu suaminya hilang selama tujuh tahun, ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Janin tetap hidup dalam rahimnya selama tujuh tahun, dan janin itu tetap milik lelaki yang hilang itu sampai ia kembali. Perempuan tidak lebih dari wadah. Tidak ada undang-undang tentang perempuan yang hilang. Seorang perempuan tidak harus hilang supaya suaminya dapat kawin lagi dengan perempuan lain. (Hlm. 107)
Masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan hanya sebagai objek seksual. Laki-laki bebas berganti pasangan dalam berhubungan seksual, sementara perempuan posisinya tetap berada di bawah kendali laki-laki. Bahkan sama sekali tidak memiliki hak atas tubuhnya. Saat ini banyak terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan. Anehnya sesudah menjadi korban, perempuan kembali disalahkan. Alasan yang sering digunakan ialah kesalahan perempuan yang tidak menutup aurat. Padahal faktanya yang sudah berpakaian sopan juga kerap menedapat tindakan pelecehan seksual. Harus dipahami bahwa yang salah bukan pakaian yang dikenakan, tapi pikiran yang harus diluruskan. Bagaimanapun setiap orang memiliki hak atas tubuhnya masing-masing.
Feminisme marxist, meyakini bahwa keadaan sosial ditentukan secara sadar. Sehingga secara sadar dapat diubah. Secara politik perempuan memiliki kekuasaan dalam menetukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarki.
Lelaki itu memaksa perempuan itu berlutut seperti seekor unta. Lelaki itu memilin selembar kain bekas, kemudian dijadikannya bantalan bulat dan diletakannya di atas kepala perempuan itu. Kemudian ia mengangkap tempayam itu dengan kedua tangannya dan meletakkannya di atas kepala perempuan itu. Leher perempuan itu bengkok karena menahan beban itu. (Hlm. 48)
Perusahaan. Apa itu perusahaan? Siapa pemilik perusahaan ini? Berapa mereka membayar setiap hari untuk tempayam-tempayam ini? Apakah lelaki mendapat upah? Sejak perempuan itu datang, perempuan itu tidak mendapat apa-apa. Ia tidak pernah memegang uang. (Hlm. 71)
Asumsinya ialah sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Penguasa memiliki kemampuan untuk menjaga kesejahteraan, namun nyatanya penguasa yang bersifat kapitalis menggunakan perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja.
Feminis psikoanalitik, berangkat dari pernyataan Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap. Keadaan ini membuat perempuan iri karena tidak memiliki penis seperti laki-laki, bahkan hal ini disebut sebagai suatu penyakit. Menurut analisis mengatakan bahwa, kebutuhan dasar setiap manusia adalah seksualitas. Maka perempuan dianggap tidak memiliki sesuatu untuk dimainkan, sebagaimana penis yang dimiliki oleh laki-laki.
“Sebagai ganti keinginannya yang tidak terpuaskan, perempuan itu mendapat nikmat dari menusuk-nusukkan pahat ke dalam tanah seolah-olah pahat itu penis laki-laki.” (Hlm. 8)
“Sejak kecil, perempuan mencari penis tetapi sia-sia. Ketika sudah putus asa karena tidak berhasil menemukannya, keinginan ini berubah menjadi keinginan yang lain.” (Hlm. 9)
Feminis psikoanalitik menolak teori Freud. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanyalah bahwa perempuan haid, mengandung, melahirkan, dan menyusui, selebihnya tidak ada yang membedakan.

0 Comments: