“Di kelas lain ada dosen yang sampai menanyakan, ‘konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) itu murni hasil pemikiran beliau sendiri atau beliau juga mengadopsi konsep pendidikan dari luar?’” Kisah seorang teman. Selama ini, saya pribadi sekadar mempelajari dan memahami, tidak mengkritisi sampai sejauh itu. Pertanyaan tersebut terjawab di buku Sekolah Biasa Saja.
Patrap Triloka, konsep dasar kerja pendidik yang digagas oleh KHD:
ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan);
ing madya mangun karsa (di tengah membangun kemauan);
tut wuri handayani (dari belakang mendukung).
Konsep ini ternyata dikembangkan oleh KHD setelah beliau mempelajari konsep-konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Tagore (India). Memangnya, bagaimana konsep pendidikan dari kedua tokoh ini & KHD? Di buku ini ada penjabaran singkatnya. Kalau ingin tahu lebih dalam, mungkin bisa mencari referensi lain.
Bagian awal buku ini menyuguhkan cerita tentang beberapa tokoh penting dunia pendidikan. Membaca berbagai miskonsepsi dan menyimpangnya dunia pendidikan kita. Beberapa yang mungkin sudah kita sadari sejak dulu: sekolah hanya mencetak siswa yang ‘seragam’, sekolah hanya mencetak manusia untuk memenuhi kebutuhan industri, sekolah menghasilkan anak yang berlomba-lomba untuk mengalahkan orang lain. Jauh sekali dari konsep pendidikan yang digaungkan oleh KHD, yang seharusnya anak didik sesuai dengan kodrat yang ada dalam dirinya sehingga mengantarkannya menjadi manusia yang utuh.
Peran pendidik yang diumpamakan oleh KHD: seorang petani yang menanam dan merawat bibit tanamannya dg baik, dipenuhi segala kebutuhannya untuk tumbuh. Menanam padi, ya, tumbuhnya padi. Bukan menanam singkong, tumbuhnya jagung *eh. Sama seperti ikan yang dilatih untuk berenang, bukan diminta untuk terbang.
Sejarah panjang pendidikan di Indonesia yang melewati beberapa masa dan beragam perubahan juga dijabarkan secara singkat di buku ini.
Buku ini mengenalkan sekolah alternatif SALAM (Sanggar Anak Alam) di Yogyakarta. Sekolah yang seperti judul buku ini, sekolah biasa saja. SALAM memiliki metodologi “daur belajar” dari pengalaman yang distrukturkan (structural experiences learning cycle). Ini seperti experiential learning yang pernah saya pelajari di kelas dan kala itu–sampai sekarang, pemahaman saya masih abu-abu bagaimana implementasi idealnya.
(Maafkan, ya, tapi belajar seperti ini kalau tidak melihat implementasi konkritnya saya sulit paham. Memang tdk ada belajar yang selesai 🙇🏽♀️)
Proses dan kegiatan belajar di SALAM adalah praktik dari pembelajaran kontekstual. saya dan beberapa teman pernah membayangkan bagaimana “serunya” kalau pembelajaran setiap mata pelajaran di sekolah itu saling berkesinambungan, dengan bahan ajar yang nyata dan betul-betul ada di lingkungan sekolah/anak tinggal. Selain untuk pembangunan daerah itu sendiri, tentu agar pendidikan tidak mengasingkan anak dari tempatnya berasal. Seperti perumpamaan yang pernah disampaikan Pak Agus, “Masa sekolah di pesisir pantai diberi pelajaran tentang daerah pegunungan”.
Metode pembelajaran di SALAM adalah riset. Anak-anak melakukan riset di setiap kegiatan belajarnya dan bebas memilih topik yang ingin mereka dalami. Riset sederhana di sekitar lingkungan SALAM dengan laboratorium alam: sawah, angkringan, sungai, dll. Saya pernah belajar ini, dan bingung bagaimana caranya anak memilih sendiri topik yang ingin mereka pelajari 🤯
SALAM juga melibatkan peran orang tua, masyarakat, dan komunitas dalam proses pembelajaran anak. Elemen-elemen yang memang sudah seharusnya terlibat dalam proses pendidikan. Elemen-elemen ini juga yang sering luput terlibat dalam pendidikan formal saat ini.
Untuk teman-teman saya yang juga pernah bingung bersama tentang beberapa hal yang dulu pernah kita pelajari, ayo baca buku ini. Semua hal kusut yang kita bayangkan itu, dipraktikkan di SALAM
secara konkrit dengan sederhana yang membuat kegiatan belajar jauh lebih bermakna.
*Buku ini hanya salah satu dari beberapa serinya.