Toko ini masih sama seperti dulu, masih menyediakan bangku di dekat pintu masuk. Padahal sudah berlalu berapa generasi, kenapa mereka tidak merubah tatanannya. Dua orang dari arah parkiran berjalan ke arahku, tapi sedari tadi mereka tak kunjung sampai. Tuk,tuk,tuk…. Suara ujung tongkatnya yang beradu dengan konblok.
“Pasangan tunanetra”, gumamku pelan. Mereka hanya menggunakan satu tongkat. Tangannya saling menggenggam erat. Dari tempatku duduk, suara mereka hanya terdengar seperti gumaman saja.
Mereka melewatiku, tentu saja aku memerhatikannya. Mereka merundingkan warna baju batik yang akan mereka beli. Tidak ada perdebatan, dan tidak ada pramuniaga yang menahan tawa melihat wajah pengunjungnya. Keberadaan mereka membuatku jadi teringat padamu. Apakah ini kali pertama mereka datang ke sini? Jika iya, berbeda sekali dengan kita, dulu.
***
Orang Jogja mana yang tidak kenal keramaian Jalan Taman Siswa? Terlebih malam hari, jalan ini menjadi begitu padat dan penuh asap polusi. Tapi motor tuamu masih sangat kuat membawa kita berdua menyusuri jalanan ini. Dari makanan pinggiran, hingga menu kebule-bulean, bisa kita dapatkan di sini. Aku selalu menyerahkan padamu, untuk urusan memilih tempat makan. Kamu lebih bisa mengatur semuanya. Kapan harus memenuhi keinginan, dan kapan harus hidup prihatin. Kamu pintar sayang, dan kamu yang membuat Jogja semakin terasa nyaman bagiku.
Dulu kamu aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa, orang-orang mengenalmu. Sebagai orang yang tidak populer, aku merasa geram dan senang. Senang karena kamu yang penuh pengetahuan, selalu menjadi sumber informan dan temanku berdiskusi secara pribadi, dan geram karena kamu selalu menggunakan batik yang sama pada setiap kegiatan resmi yang kamu hadiri. Andai saat itu kamu lebih peka pada bajumu yang sudah memudar warnanya.
Malam itu kita sempat berdebat ringan di parkiran Toko Batik Yudhistira. Kamu marah denganku yang ingin membelikanmu baju batik baru. Padahal aku sudah menyisihkan uang makanku selama sebulan terkahir. Sadar tidak sih, betapa anehnya kamu dulu. Tapi, aku ya, tetap diriku, dan kamu tidak akan pernah mematahkan apa yang kuinginkan. Aku tidak tau betul bagaimana perasaanmu saat itu, apa kamu merasa gengsi dibelikan baju olehku? Seharusnya biasa saja, aku tidak pernah perhitungan sedikitpun untukmu. Bukankah kamu juga begitu?
Pramuniaga yang melihat pertengkaran kita dari balik etalase menahan tawa saat kita masuk ke dalam. Kamu sadar tidak kalau saat itu mereka menertawakanmu yang bermuka masam? Aku sih, tidak peduli. Ini adalah hadiah pertama untukmu, sejak kedekatan kita. Aku jadi tau, ternyata mencarikanm baju sangat sulit. Kamu cerewet! Pantas baju yang kamu pakai hanya itu-itu saja.
***
“Sayang, ayo masuk. Bantu aku memilih batik yang cocok untuk bertemu klien, besok. Anak-anak juga ingin, aku tidak bisa memilihkan untuk mereka”.
Ah, terlalu lama memikirkanmu. Suamiku memanggil, maaf aku harus masuk dulu.
Terminal F5
Sabtu, 23 Februari 2018
14:24 WIB